Selasa, 14 Desember 2010

Cinta Di Antara Gerimis

Entah mengapa pada gerimis pilihan Cinta tertambat. Kedua pilihan menyerta kegelisahan hidup. Gelisah mumpuni. Menelesup relung jiwa. Tak bisa dipungkiri bahwa Sang Maha Pemberi Rasa Kasih Sayang memberikan sebuah kemustahilan. Mustahil untuk mendapatkan Rama sebagai seorang suami. Rama, sosok itu. Lelaki yang telah menitipkan kata ‘menunggu’ untuk sekian lama. Bukan satu atau dua hari. Apalagi satu atau dua tahun. Melainkan sewindu. Waktu yang tak sedikit untuk sebuah penantian. Kala itu umur Cinta baru tujuh belas tahun saat Rama memutuskan pilihan untuk kuliah di Al-Azhar University. Rama sendiri genap berusia delapan belas tahun. Rasa itu seolah tak bisa dilepas. Dua anak manusia yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan berdekatan. Mereka bertetangga, meski terhalang tiga rumah. Rupanya rasa itu tak mampu dihalangi oleh tiga rumah tersebut. Entah mengapa, rasa itu terus berkecamuk. Mesti tak pernah terkatakan oleh lisan. Tapi bahasa qalbu mampu terterjemahkan oleh segalanya. Pandangan mata dan gerak tubuh. Dalam sepotong diam, mereka sama-sama menyimpan rasa itu.Cinta pun takluk pada rasa itu. Dengan rasa itu pula, Cinta terus menanti kehadiran Rama. Meski jejarak tak dapat dipangkas. Antara Kairo dan Indonesia. Bila saja tak ada kepercayaan akan ucapan Rama, maka tak akan mungkin Cinta menepati janjinya untuk menjadi seseorang yang melebur pada kata setia. Kesetiaan dan kepercayaan itu mampu mengurai jejaring kerinduan dalam ketenangan. Tak pernah sepucuk surat singgah di genggaman Cinta. Pun suara Rama yang terdengar di telepon. Hanya saja setiap dua tahun sekali, Rama selalu datang ke Indonesia. Itupun terkadang bisa lebih satu atau dua bulan. Tentu saja, Cinta dapat menghapus dahaga kehampaan. Meski berbilang waktu.
Kau tahu kalau kurma ini belum masak?” tanya Rama suatu hari di dua tahun pertama keberangkatannya saat ia pulang ke tanah air. Cinta hanya berdiri di depan pintu sambil menggelengkan kepala. Rama menyerahkan kurma itu seraya tersenyum. Tangannya memegang kepala yang terkena guyuran hujan dan sesekali menyibak rambutnya yang terbasahi air langit itu.“Sengaja aku bawakan kurma untuk keluarga kita. Biar tahu rasanya kurma yang setengah matang. Kalau di Mesir makan kurma paling enak saat udara panas. Tapi di sini tak ada salahnya kau cicip di musim hujan.”“Keluarga kita? Semoga saja memang aku mendapatkanmu sebagai pasangan hidup.” batin Cinta berkata-kata. “Aku akan ke rumahmu Februari dua tahun lagi,” Rama meminta Cinta untuk tetap menunggu hingga Februari dua tahun lagi.
Dua tahun selanjutnya Rama kembali. Kali ini sebulan lebih cepat. Cinta tampak kegirangan. Maklum saat itu Cinta tengah disibukkan oleh kegiatan perkuliahan cukup padat. Menurutnya kehadiran Rama dapat mendongkrak semangatnya yang hampir padam untuk menjalani kuliah. Tak ada yang teristimewa dari kepulangannya. Hanya sebuah cerita yang dialami Rama saat menerima sebuah bingkisan dari seorang kakek yang berpakaian lusuh. Awalnya Rama meremehkan kehadiran kakek tua itu sebagai pengemis. Pandangan semacam itu memang dipicu oleh penampilan sang kakek. Tak disangka, sang kakek memberinya sebuah bingkisan yang berisikan lembaran-lembaran uang. Selepas kakek itu pergi dari apartemennya, Rama menyadari bahwa keadaannya saat itu sangatlah menderita. Paceklik. Tak ada pemasukan sama sekali. Uang hasil menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Inggris mengalami keterlambatan. Uang itulah sebagai pengganti sementara untuk memenuhi kebutuhannya selama beberapa waktu.Cinta hanya mendengarkan rangkaian cerita itu di balik gerimis yang menjarum di halaman rumahnya. Di akhir perbincangan itu Cinta memuji Rama. Ada raut kebahagiaan melingkupi wajah Rama. “Mas orang baik. Tentu saja banyak yang menolong. Mas memang beruntung.”Entah sebagai balasan atas pujian atau memang sebagai permintaan kembali untuk menanti kehadirannya, Rama menjanjikan akan ke Indonesia bulan Juni dua tahun lagi. Lagi-lagi untuk kali kesekian Cinta diuji kesetiaannya.
Seharusnya tak ada gerimis bulan Juni sebab sekian waktu tak ada hujan membasahi Bumi Pertiwi. Bulan yang telah dijanjikan Rama untuk menemui Cinta di Indonesia. Rama menunaikan janjinya tepat waktu. Bulan Juni. Hanya saja, ada yang tak tepat dari kehadirannya. Sama sekali Rama tak menunjukkan batang hidungnya. Meski, Cinta tahu obrolan-obrolan tetangga sebelah memuat kabar kedatangan Rama. Cinta hanya diam. Tak mungkin baginya untuk menyambangi rumah Rama. Sekadar untuk memastikan bahwa Rama tengah sowan ke Indonesia. Gerimis tak berhenti. Memagut cerahnya hari. Persis seperti apa yang dialami Cinta. Gerimis itu serupa tanya yang enggan hilang dari benaknya. Hingga mengubah perwajahan Cinta yang cerah menjadi sendu.Beberapa hari Cinta tak mendapati sosok yang begitu dekat di hatinya. Tapi, begitu semu. Tak nampak batang hidungnya. Hanya berkeliaran di rimba ingatan. Gerimis kian menjadi-jadi. Hingga muncul hujan. Merinai. Titik-titik air singgah di jendela. Berkali-kali Cinta memainkan titik air dengan ujung jarinya. Hawa begitu dingin menyelubungi alam mayapada. Sedingin jiwanya yang kini koyak oleh kerinduan yang berlarat-larat.Satu minggu telah terlewati tanpa satupun tanda-tanda yang bisa menenangkan jiwa renta Cinta. Pertemuan alangkah sejenis benda langka yang mesti digantungkan ke langit tinggi. Sebuah kemewahan rasa mumpuni, namun tak mampu terbeli. Bahkan kini rindu hanya terserak di gudang hati.Di hari ketujuh yang berarti hari terakhir Rama di Indonesia, Rama menitipkan bingkisan berupa dua lembar kertas. Satu kertas jumbo berisi 30 juz Al-Quran dengan huruf yang sangat kecil. Tentu saja, membacanya harus dengan menggunakan suryakanta atau kaca pembesar. Lainnya berupa lembaran kertas papirus yang terlapisi kertas dan memuat kaligrafi surat Al-Falaq yang didominasi warna merah, biru, serta putih. Di balik kaligrafi itu bermukim secarik kertas memuat sebait puisi yang ditulis tangan.Telah purna dhoifnya diri. Ditikam gerimis bertubi-tubi. Hendak merengkuh cinta hakiki. Tak jua terpatri di sanubari Cinta terpasung dalam geming dan makna puisi. Cinta bukanlah pujangga atau sastrawati yang mampu menterjemahkan maknanya. Hanya ada barisan rasa sepi yang bersebatin dengan dirinya kini. “Mbak, Mas Rama minta maaf nggak bisa ketemu. Sibuk ngurus visa. Apalagi ya…,” Asti -adik perempuan Mas Rama- mencoba mengingat-ingat pesan kakak kesayangannya itu. “Nggak apa-apa, kok,” jawab Cinta singkat. Cinta memperhatikan Asti yang tengah kepayahan mengingat pesan yang lupa itu. Beberapa waktu kemudian Asti tersenyum simpul. “Oh iya, Mas Rama baru bisa pulang dua tahun lagi. Sekarang Mas Rama kerja jadi marketing di perusahaan jus buat balita.” Gerimis masih terus berlanjut, meski Asti sudah meninggalkan jejaknya di ruang tamu rumah Cinta. Ada yang mengusik jiwa Cinta. Lagi-lagi hal itu membuat Cinta terseret pada pusaran kegelisahan. “Dua tahun? Aku sudah biasa menunggu selama itu. Tapi bulan apa? Kenapa tak kutanyakan?” Ada penyesalan tak berujung dirasakan oleh Cinta. Setidaknya angka dua adalah bagian yang tak bisa dihindari. Dua tahun untuk setia.
Tak pernah terpikir bahwa kehidupan tak selamanya menyimpan hal yang sama. Dua tahun tak selamanya akan berwujud dua tahun. Kiranya inilah kejadian yang sama sekali tak terduga oleh Cinta. Sebelas bulan dari Juni setahun sebelumnya. Seusai bingkisan itu tergenggam oleh Cinta, ada peristiwa sangat mengejutkan menghampiri Cinta. “Cinta, lusa Rama mau telepon kamu. Jam 8 malaman. Ibu sudah bilang supaya Rama menghubungi rumah kamu. Tapi, katanya ada berita penting untuk keluarga ini. Kamu diminta mendengarkannya. Kamu nggak keberatan kan?” “Tidak, tante,” perasaan Cinta mendadak tak menentu. Selain karena langkanya atau bahkan tak pernah Mas Rama menghubungi Cinta lewat telepon. Aneh! “Mengapa aku harus dilibatkan?” Cinta tak tahu misteri apa yang tengah ditimpakan Allah kepadanya.Tepat pukul delapan dua hari berikutnya, Cinta berbicara dua arah dengan Rama. Mendadak angin begitu kencang berhembus. Tentu saja mempengaruhi penerimaan suara dengan terputus-putus.“Cinta, bisa lebih keras ngomongnya? Aku nggak dengar. Di sana lagi gerimis atau udah hujan?” Hati Cinta jengkel mendengar pertanyaan dari Rama. Sudah dicoba berkali-kali mengeraskan suaranya. Tetap saja suara Cinta tak bisa didengar jelas oleh Rama. Belum lagi pertanyaan soal gerimis atau hujan. Cinta menganggap bukan saatnya menanyakan hal seperti itu. Apalagi sambungan internasional sangat menyedot pulsa.“Cinta, kalo Mas Rama kenalin Cinta sama seseorang mau nggak?”“Seseorang? Untuk apa Mas?”“Untuk hidup dan kemaslahatan.”“Memang siapa Mas? Kemaslahatan?”“Untuk Mas Rama dan kamu.”“Tunggu tanggal mainnya. Setahun lagi, ya.”Kalau setahun lagi mau berkenalan dengan seseorang, kenapa repot-repot menghubungiku, pikir Cinta.Setahun kemudian, sejarah kelam terpahat di kehidupan Cinta. Rama tiba di Indonesia dengan penampilan baru. Membiarkan jenggot dan cambang tumbuh. Tampak begitu gagah. Cinta tak bisa langsung mengenali sosok Rama. Hanya suara bariton Rama memberi sebuah tanda, kalau itu benar-benar suara Rama. Buncahan rindu yang bergejolak di hati Cinta sirna seketika. Sosok di hadapannya memberikan kebahagian tersendiri. Cinta yang kini tengah merintis karir di dunia periklanan seakan digodam kesadarannya akan pemenuhan setengah agamanya yang mesti diwujudkan.“Kamu masih ingat obrolan di telepon setahun lalu?”Obrolan di telepon itu masih terngiang di telinga Cinta. “Masih ingat, Mas. Mana orangnya yang mau dikenalkan sama Cinta?” Cinta celingukan mencari sosok manusia yang akan dikenalkan Rama. “Pasti ganteng,” baru kali ini Cinta bercanda dengan Rama.“Cantik. Nih fotonya. Rencananya besok lusa aku melamar dia.”Mendadak kepala Cinta terasa berat. Tak hanya gerimis yang menyerta kepedihan Cinta. Hujan dan angin beriringan membentangkan luka di dada Cinta

1000 Burung Kertas

Sewaktu Joe dan Anna baru pacaran, Joe melipat 1000 burung kertas buat Anna, menggantungkannya di dalam kamar Anna. Joe mengatakan, 1000 burung kertas itu menandakan 1000 ketulusan hatinya.

Waktu itu, Anna dan Joe setiap detik selalu merasakan betapa indahnya cinta mereka berdua.

Tetapi pada suatu saat, Anna mulai menjauhi Joe. Anna memutuskan untuk menikah dan pergi ke Perancis, ke Paris tempat yang dia impikan di dalam mimpinya berkali-kali itu!!

Sewaktu Anna mau mutusin Joe, Anna bilang sama Joe, "Kita harus melihat dunia ini dengan pandangan yang dewasa. Menikah bagi cewek adalah kehidupan kedua kalinya!! Aku harus bisa memegang kesempatan ini dengan baik. Kamu terlalu miskin, sungguh aku tidak berani membayangkan bagaimana kehidupan kita setelah menikah.!!"

Setelah Anna pergi ke Perancis, Joe bekerja keras, dia pernah menjual koran, menjadi karyawan sementara, bisnis kecil, setiap pekerjaan dia kerjakan dengan sangat baik dan tekun.

Sudah lewat beberapa tahun...
Karena pertolongan teman dan kerja kerasnya , akhirnya dia mempunyai sebuah perusahaan. Dia sudah kaya, tetapi hatinya masih tertuju pada Anna, dia masih tidak dapat melupakannya.

Pada suatu hari, waktu itu hujan, Joe dari mobilnya melihat sepasang orang tua berjalan sangat pelan di depan. Dia mengenali mereka, mereka adalah orang tua Anna.

Dia ingin mereka lihat kalau sekarang dia tidak hanya mempunyai mobil pribadi, tetapi juga mempunyai Vila dan perusahaan sendiri, ingin mereka tahu kalau dia bukan seorang yang miskin lagi, dia sekarang adalah seorang Bos. Joe mengendarai mobilnya sangat pelan sambil mengikuti sepasang orang tua tersebut.

Hujan terus turun, tanpa henti, biarpun kedua org tua itu memakai payung,tetapi badan mereka tetap basah karena hujan.

Sewaktu mereka sampai tempat tujuan, Joe tercengang oleh apa yang ada di depan matanya, itu adalah tempat pemakaman. Dia melihat di atas papan nisan Anna tersenyum sangat manis terhadapnya.

Di samping makamnya yang kecil, tergantung burung-burung kertas yang dibuatkan Joe, dalam hujan burung-burung kertas itu terlihat begitu hidup.

Orang tua Anna memberitahu Joe, Anna tidak pergi ke paris, Anna terserang kanker, Anna pergi ke surga. Anna ingin Joe menjadi orang, mempunyai keluarga yang harmonis, maka dengan terpaksa berbuat demikian terhadap Joe dulu. Anna bilang dia sangat mengerti Joe, dia percaya kalau Joe pasti akan berhasil.

Anna mengatakan, kalau pada suatu hari Joe akan datang ke makamnya dan berharap dia membawakan beberapa burung kertas buatnya lagi. Joe langsung berlutut, berlutut di depan makam Anna, menangis dengan begitu sedihnya.

Hujan pada hari Valentine itu terasa tidak akan berhenti, membasahi sekujur tubuh Joe. Joe teringat senyum manis Anna yang begitu manis dan polos, mengingat semua itu, hatinya mulai meneteskan darah.

Sewaktu Orang tua ini keluar dari pemakaman, mereka melihat kalau Joe sudah membukakan pintu mobil untuk mereka. Lagu sedih terdengar dari dalam mobil tersebut.

Hatiku tidak pernah menyesal,
Semuanya hanya untukmu 1000 burung kertas,
1000 ketulusan hatiku,
Beterbangan di dalam angin
Menginginkan bintang yang lebat besebaran di langit,
Melewati sungai perak,
Apakah aku bisa bertemu denganmu?
Tidak takut berapapun jauhnya,
Hanya ingin sekarang langsung berlari ke sampingmu.
Masa lalu seperti asap, hilang dan tak kan kembali,
Menambah kerinduan di hatiku.
Bagaimanapun dicari,
Jodoh kehidupan ini pasti tidak akan berubah.

Arti Sebuah Sikap...

John Blanford berdiri tegak dari bangku di Stasiun Kereta Api sambil
melihat ke arah jarum jam, pukul 6 kurang 6 menit. John sedang menunggu
seorang gadis yang dekat dalam hatinya tetapi tidak mengenal wajahnya,
seorang gadis dengan setangkai mawar.
Lebih dari setahun yang lalu John membaca buku yang dipinjam dari
Perpustakaan. Rasa ingin tahunya terpancing saat ia melihat coretan tangan
yang halus di buku tersebut. Pemilik terdahulu buku tersebut adalah seorang
gadis bernama Hollis Molleon. Hollis tinggal di New York dan John di
Florida. John mencoba menghubungi sang gadis dan mengajaknya untuk saling
bersurat. Beberapa hari kemudian, John dikirim ke medan perang, Perang Dunia
II. Mereka terus saling menyurati selama hampir 1 tahun. Setiap surat
seperti layaknya bibit yang jatuh di tanah yang subur dalam hati
masing-masing dan jalinan cinta merekapun tumbuh.
John berkali-kali meminta agar Hollis mengirimkannya sebuah foto. Tetapi
sang gadis selalu menolak, kata sang gadis "Kalau perasaan cintamu
tulus,John, bagaimanapun rupaku tidak akan merubah perasaan itu, kalau saya
cantik, selama hidup saya akan bertanya-tanya apakah mungkin perasaanmu itu
hanya karena saya cantik saja, kalau saya biasa-biasa atau cenderung jelek,
saya takut kamu akan terus menulis hanya karena kesepian dan tidak ada orang
lain lagi dimana kamu bisa mengadu. Jadi sebaiknya kamu tidak usah tahu
bagaimana rupa saya. Sekembalinya kamu ke New York nanti kita akan bertemu
muka. Pada saat itu kita akan bebas untuk menentukan apa yang akan kita
lakukan."
Mereka berdua membuat janji untuk bertemu di Stasiun Pusat di New York pukul
6 sore setelah perang usai. "Kamu akan mengenali saya, John, karena saya
akan menyematkan setangkai bunga mawar merah pada kera bajuku", kata Nona
Hollis.
Pukul 6 kurang 1 menit sang perwira muda semakin gelisah, tiba-tiba
jantungnya hampir copot, dilihatnya seorang gadis yang sangat cantik berbaju
hijau lewat di depannya, tubuhnya ramping, rambutnya pirang bergelombang,
matanya biru seperti langit, luar biasa cantiknya.... Sang perwira mulai
menyusul sang gadis, dia bahkan tidak menghiraukan kenyataan bahwa sang
gadis tidak mengenakan bunga mawar seperti yang telah disepakati. Hanya
tinggal 1 langkah lagi kemudian John melihat seorang wanita berusia 40 tahun
mengenakan sekumtum mawar merah di kerahya. "O....itu Hollis!!!!"
Rambutnya sudah mulai beruban dan agak gemuk. Gadis berbaju hijau hampir
menghilang. Perasaan sang perwira mulai terasa terbagi 2 ingin lari mengejar
sang gadis cantik tetapi pada sisi lain tidak ingin menghianati Hollis yang
lembut dan telah setia menemaninya selama perang. Tanpa berpikir panjang,
John berjalan menghampiri wanita yang berusia setengah baya itu dan
menyapanya, "Nama saya John Blanford, anda tentu saja Nona Hollis, bahagia
sekali bisa bertemu dengan anda, maukah anda makan malam bersama saya?" Sang
wanita tersenyum ramah dan berkata "Anak muda, saya tidak tahu apa artinya
semua ini, tetapi seorang gadis yang berbaju hijau yang baru saja lewat
memaksa saya untuk mengenakan bunga mawar ini dan dia mengatakan kalau anda
mengajak saya makan maka saya diminta untuk memberitahu anda bahwa dia
menunggu anda di restoran di ujung jalan ini, katanya semua ini hanya ingin
menguji anda." (NN)
Pernahkah terpikir oleh anda sekalian, bahwa si pemuda bernama John Blanford
di atas akan menarik semua perkataan-perkataan cinta romantis yang pernah di
tulis dalam surat-suratnya apabila, katakanlah memang benar ternyata Nona
Hollis hanyalah seorang wanita gemuk dengan rambut hampir beruban. Untunglah
John seorang yang sangat cerdas dan berhikmat. Dia bisa saja berpikir pasti
dapat mengeluarkan sebuah alasan lain untuk mengagalkan lamarannya. Dan
tentunya jika itu terjadi, maka cerita ini pasti tidak akan ada.
Seseorang akan sangat mudah tertipu dan tergoda untuk mengikuti mata jasmani
dan mengabaikan kata hati. Orang lebih menyukai apa yang dapat dia lihat
dan sentuh dari pada apa yang dapat dirasakan dan di sentuh oleh hatinya.
Ini adalah salah satu titik kegagalan manusia dalam menjalani kehidupannya
sebagai orang yang beriman. Kita lebih tertarik melihat sebuah senyuman
manis, dari pada sikap hati. Kita lebih menyukai bola mata yang bulat dan
bening ketimbang mata hati yang tajam dan peka. Kita lebih menyukai wajah
rupawan dari pada karakter yang bagus. Singkat kata, kita semua lebih
menyukai hal-hal yang bersifat jasmaniah ketimbang hal-hal rohaniah. Itulah
sebabnya seringkali kita tersandung karena ulah kita
sendiri!

Mawar Merah

Mawar merah adalah kecintaannya, nama orangnya sendiri juga "Mawar". Dan setiap tahun suaminya selalu mengirimkan mawar-mawar itu, diikat dengan pita indah. Pada tahun suaminya meninggal dia mendapat kiriman mawar lagi. Kartunya tertulis "Be My Valentine like all the years before".
Sebelumnya, setiap tahun suaminya mengirimkan mawar,dan kartunya selalu tertulis, "Aku mencintaimu lebih lagi tahun ini, kasihku selalu bertumbuh untukmu seturut waktu yang berlalu."
Dia tahu ini adalah terakhir kali suaminya mengirimkan mawar-mawar itu. Dia tahu suaminya memesan semua itu dengan bayar di muka sebelum hari pengiriman. Suaminya tidak tahu kalau dia akan meninggal. Dia selalu suka melakukan segala sesuatu sebelum waktunya. Sehingga ketika suaminya sangat sibuk sekalipun, segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik.
Lalu Mawar memotong batang mawar-mawar itu dan menempatkan semuanya dalam satu vas bunga yang sangat indah. Dan meletakkan vas cantik itu disebelah potret suaminya tercinta. Kemudian dia akan betah duduk berjam-jam dikursi kesayangan suaminya sambil memandangi potret suaminya dan bunga-bunga mawar itu.
Setahun telah lewat, dan itu adalah saat yang sangat sulit baginya. Dengan kesendiriannya dijalaninya semua. Sampai hari ini, Valentine ini...
Beberapa saat kemudian, bel pintu rumahnya berbunyi, seperti hari-hari Valentine sebelumnya. Ketika dibukanya, dilihatnya buket mawar di depan pintunya. Dibawanya masuk, dan tiba-tiba seakan terkejut melihatnya.
Kemudian dia langsung menelpon toko bunga itu. Ditanyakannya kenapa ada seseorang yang begitu kejam melakukan semua itu padanya, membuat dia teringat kepada suaminya... dan itu sangat menyakitkan ...
Lalu pemilik toko itu menjawabnya, "Saya tahu kalau suami Nyonya telah meninggal lebih dari setahun yang lalu. Saya tahu anda akan menelpon dan ingin tahu mengapa semua ini terjadi. Begini Nyonya, bunga yang anda terima hari ini sudah di bayar di muka oleh suami anda. Suami anda selalu merencanakannya dulu dan rencana itu tidak akan berubah. Ada standing order di file saya, dan dia telah membayar semua, maka anda akan menerima bunga-bunga itu setiap tahun. Ada lagi yang harus anda ketahui, dia menulis surat special untuk anda, ditulisnya bertahun-tahun yang lalu, dimana harus saya kirimkan kepada anda satu tahun kemudian jika dia tidak muncul lagi di sini memesan bunga mawar untuk anda. Lalu, tahun kemarin, saya tidak temukan dia di sini, maka surat itu harus saya kirimkan setahun lagi, yaitu tahun ini, surat yang ada bersama dengan bunga itu sekarang, bersama dengan Nyonya saat ini."
Mawar mengucapkan terima kasih dan menutup telepon, dia langsung menuju ke buket bunga mawar itu, sedangkan air matanya terus menetes. Dengan tangan gemetar diambilnya surat itu Di dalam surat itu dilihatnya tulisan tangan suaminya menulis:
"Dear kekasihku,
aku tahu ini sudah setahun semenjak aku pergi. Aku harap tidak sulit bagimu untuk menghadapi semua ini. Kau tahu, semua cinta yang pernah kita jalani membuat segalanya indah bagiku, kau adalah istri yang sempurna bagiku. Kau juga adalah seorang teman dan kekasihku yang memberikan semua kebutuhanku.
Aku tahu ini baru setahun... tapi tolong jangan bersedih... aku ingin kau selalu bahagia... Walaupun saat kau hapus air matamu... Itulah mengapa mawar-mawar itu akan selalu dikirimkan kepadamu. Ketika kau terima mawar itu, ingatlah semua kebahagiaan kita, dan betapa kita begitu diberkati...
Aku selalu mengasihimu... dan aku tahu akan selalu mengasihimu...
Tapi... istriku, kau harus tetap berjalan... kau punya kehidupan... Cobalah untuk mencari kebahagiaan untuk dirimu. Aku tahu tidak akan mudah tapi pasti ada jalan. Bunga mawar itu akan selalu datang setiap tahun... dan hanya akan berhenti ketika pintu rumahmu tidak ada yang menjawab dan pengantar bunga berhenti mengetuk pintu rumahmu... Tapi kemudian dia akan datang 5 kali hari itu, takut kalau engkau sedang pergi... Tapi jika pada kedatangannya yang terakhir dia tetap tidak menemukanmu... Dia akan meletakkan bunga itu ke tempat yang ku suruh... meletakkan bunga-bunga mawar itu ditempat dimana kita berdua bersama lagi.. untuk selamanya...
I LOVE YOU MORE THAN LAST YEAR,... HONEY..."
Sometimes in life, you find a special friend;
Someone who changes your life just by being part of it;
Someone who makes you laugh until you can't stop;
Someone who makes you believe that there really is good in the world;
Someone who convinces you that there really is an unlocked door just waiting for you to open it.

Dia Itu Sahabatku

Seminggu yang lalu ada seorang lelaki yang sedang berjalan sendiri melangkahkan kakinya di hamparan jalan yang berdebu. Terlihat di matanya setetes air mata yang berlinang dan seakan akan jatuh ke bumi, entah apa yang sedang dipikirkannya. Tak ada satu katapun diucapkannya, ia hanya berjalan dan berjalan tanpa suatu kepastian.
Aku lalu mendekati lelaki itu dengan penuh rasa ingin tahu. Aku bertanya padanya kenapa ia mengangis dan berjalan dengan lamun pikirannya. Tapi ia tak menjawab, aku lalu bertanya lagi dengan nada yang sedikit memaksa.
Ia hanya diam menatap ku, mungkin ia terkejut melihat seorang yang tak ia kenal bertanya kepadanya. Tapi aku tak peduli karena aku seakan mengerti apa yang dirasakannya. Perlahan ia bangkit dari diamnya dan berkata "aku...aku kini mengerti...".
Aku semakin bingung apa maksudnya, aku kemudian melihat dirinya yang seakan ingin berlari ke tengah jalan yang sedang ramai. Tanpa pikir panjang aku mengejarnya dan meraih tangannya, kutarik tangan itu dengan segenap kekuatan yang kumiliki.
Tapi ia kemudian marah dan kesal dengan apa yang telah kulakukan, seakan ia tak ingin aku menyelamatkan dirinya dari maut yang sudah mengincarnya. "Apa kamu sudah gila!!!", kataku padanya sambil berteriak. Ia lalu terduduk, diam dan diam...
Matanya menatap ke arah langit yang sedang meredup, perlahan ia lalu bercerita dan berkata kepada diriku. "Aku dulu adalah seorang yang bahagia", katanya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya kepadaku.
Aku sangat bahagia dengan apa yang kumiliki, tak ada seorangpun yang bisa merebut senyum yang selalu terpancar di wajahku. Walaupun aku tak memiliki seorang pacar tapi aku tetap merasa senang karena aku merasa memiliki seorang teman yang selalu menemani hari-hariku. Temanku itu sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri.
Hari itu kami jalan ke sebuah mal di kota tempat kami tinggal, aku melihat seorang cewek yang menarik bagiku. Temanku lalu menyuruh aku untuk berkenalan dengan dia. Awalnya aku malu, tapi setelah sahabatku memaksa dan terus memaksa, akhirnya aku memberanikan diri untuk berkenalan.

Tapi cewek itu seakan tak menganggap diriku, ia hanya cuek dan terus berjalan tak menanggapiku. Aku pun kembali ke tempat temanku sambil sedikit tersenyum dan berkata "udah biasa sob, mana ada cewek yang amu ama gua, hahaaha...". Temanku lalu tersenyum kepadaku, o ya nama teman ku itu adalah tia. Ya sahabatku itu adalah seoarang wanita, yang selalu setia mendengar keluh kesah yang kurasakan.
Beberapa hari dari kejadian itu, seakan tia selalu ingin mencarikan seorang pacar untuk aku, tapi tetap saja semua cewek yang ia kenalkan kepada ku selalu menolak saat akan berkenalan dengan aku. Mungkin karena wajahku yang jelek dan pas-pasan.
Namun aku tetap merasa senang karena aku masih memiliki seorang sahabat seperti tia, seorang sahabat yang cantik, baik, dan perhatian. Tapi walaupun demikian tak pernah terlintas di otakku ingin memiliki dia sebagai pacar. Dan aku tahu aku tak pantas untuk menjadi cowoknya karena aku tak layak untuk dirinya.
Semakin lama aku menemani dia, semakin besar rasa yang kurasakan, entah apa itu. Aku merasa bila dia tak ada disampingku, aku merasa sepi dan gundah, apa aku jatuh cinta kepadanya?. Tapi ia seakan tak menyadari apa yang kurasakan dan terus menjodohkan aku dengan teman-teman ceweknya, aku hanya tersenyum ketika melihatnya menatap mataku.
Hari itu aku sedang memetik gitar dengan alunan nada yang indah, tiba-tiba handphone ku berdering dengan kerasnya, ketika kujawab ternyata dari sahabatku tia. Aku sangat senang menerima telephone darinya. Tapi ketika kujawab, kudengar suaranya serak seakan sedang menangis. Aku lalu bertanya kepadanya, dia hanya menjawab dengan sebuah kalimat "aku akan pergi...".
Aku bingung, aku lalu mengambil kunci mobilku dan bergegas menuju rumahnya, Ketika aku tiba di rumahnya, aku tak melihat mobilnya disana. Aku lalu mengetuk pintu rumahnya, dan hanya seorang penjaga rumah yang menyambut kedatanganku. Ia lalu mengatakan padaku bahwa tia dan papanya barusan berangkat ke bandara karena akan pindah ke luar negeri.
Tanpa pikir lagi, aku menuju ke bandara walaupun aku tak tahu ia akan kemana dan naik pesawat apa. Setiba disana aku kemudian berlari menuju pintu keberangkatan, dari kejauhan mataku menatap sosok tia yang sedang berdiri diam dan menunggu di depan pintu keberangkatan.
Kulangkahkan kakiku, kuberlari dan kuberteriak memanggil namanya. Tia!!!...aku yakin dia mendengar suaraku, ketika aku sampai di depan pintu keberangkatan, aku tak melihat sahabatku itu. Aku terus mencari dengan air mata yang berlinang di mataku, tapi tetap tak kutemui. Aku terus berteriak dan berteriak, Tia!!!...Tia!!!...
Tak ada yang menjawab, hanya orang-orang yang menatap diriku dan berpikir bahwa aku sudah gila!. Aku terduduk di lantai yang dingin itu, tak kusadari air mata mengalir dari pipiku jatuh ke bumi seakan terbang bersayap.
Tapi dalam tangisku itu aku terus memanggil nama tia dan perlahan berkata "aku cinta kamu tia, aku cinta kamu...". Baru kusadari bahwa cinta yang telah lama kucari selama ini ternyata selalu ada di dekatku, tapi aku tak pernah menyadarinya hingga ia pergi meninggalkanku.
Sampai saat ini aku ga pernah lagi ketemu dengan sahabatku itu, itulah yang membuat aku merasa sedih seperti sekarang ini. Walaupun waktu sudah berjalan hampir satu tahun semenjak dia pergi dari hari-hariku tapi aku ga pernah melupakan dia. Senyumnya, tawanya dan candanya selalu terbayang di ingatanku.
Mendengar cerita dari laki-laki ini, aku terdiam dan kemudian bertanya padanya "memang kamu ga pernah dihubungi oleh tia itu?". Ia lalu menjawab, "dia pernah sekali mengirimkan sms ke hp ku, katanya sekarang dia lagi di bandung".
"Loh bagus donk, kan kamu bisa ketemu dengan dia", kataku kepada lelaki itu. "Ya memang aku bisa bertemu dengan dia sekarang, tapi untuk apa aku bertemu dengan dia kalau cuma akan menyakiti", jawabnya.
Ia lalu memperlihatkan isi sms yang dikirimkan oleh tia kepada laki-laki itu...isinya seperti ini.
Hallo romi, gimana kabarnya?...aku lagi ada dibandung nih, o ya datang ya ke pesta ulang tahun aku ntar malam, o ya nanti malam sekalian aku kenalin kamu ke pacar aku hehehe...gimana kamu udah dapat cewek blum?, jangan jomblo mulu donk, malu ama umur huhuuhuh...

Ternyata nama laki-laki itu adalah romi, aku kemudian berkata padanya setelah membaca isi sms itu "aku tahu kamu cinta dia, dan aku tahu seperti apa sakit yang kamu rasakan, mungkin aku ga berhak memberikan pendapat karena kamu pasti mengira bahwa aku ga pernah mengerti sedih yang kamu rasakan saat ini, tapi percayalah...jalan satu-satunya dan yang terbaik adalah kamu datang ke pesta ulang tahunnya dan katakan bahwa kamu cinta dia, apapun keputusannya kamu harus menerimanya...aku bakal nemenin kamu ntar malam kalau kamu mau...".
Romi awalnya diam dan kemudian perlahan menjawab "mungkin kamu benar,,,ok ntar malam kamu temenin aku ya...", jawabnya sambil tersenyum.
Ketika malam datang, romi telah menungguku di tempat kami bertemu tadi, dengan dandanan yang rapi dan gagah dia mendatangiku dan langsung mengajakku untuk naik ke mobilnya, tanpa menunggu lagi kami langsung berangkat menuju ke rumah tia.
Terlihat suasana yang sangat ramai dan meriah di sana. Romi terlihat ragu ketika akan melangkah ke dalam rumah itu, tapi aku terus memberikan semangat kepadanya. Kemudian ia memberanikan dirinya untuk masuk, ia lalu menunjukkan kepadaku tia seorang sahabat dan seorang gadis yang sangat dicintainya.
Aku melihat sosok tia itu sangat cantik dan menarik, senyumnya seakan membiusku. Aku lalu membisikkan kepada romi untuk memberikan kado yang sudah dipersiapkannya kepada tia, dan jangan lupa untuk mengatakan bahwa kamu cinta dia.
Namun ketika romi akan melangkah ke arah tia, tiba-tiba terdengar suara pembawa acara, kita sambut tia yang akan menyanyikan sebuah lagu. Mendengar suara tersebut, romi berhenti melangkah dan terdiam. Tia lalu bernyanyi dengan suara yang indah dan membuat seluruh tamu terpana, di akhir lagunya ketika tia selesai melantunkan sebuah lagu, ia lalu berkata, lagu ini untuk seorang yang sangat aku sayangi.
Para tamu yang hadir kemudian berteriak "Huuuu...siapa tu!!!"...Tia melihat seorang lelaki yang wajahnya terlihat bukan dari negara kita, mungkin ia adalah cowok yang dikenal tia di luar negeri sana.
Setelah tia bernyanyi, papa tia pun berjalan ke arahnya dan menyampaikan beberapa kata, aku terkejut ketika mendengar kata-kata papanya, "hari ini tia akan memperkenalkan seoarang cowok yang sangat dicintainya, dan hari ini juga saya akan meresmikan hubungan mereka dengan pertunangan.
Aku menatap ke arah romi, terlihat tatapan kosong di matanya...aku tahu apa yang ia rasakan. Tia lalu berkata melalui sebuah mikropon yang digenggamnya, "hari ini saya akan memperkenalkan seorang cowok yang sangat saya cintai, berhubung papa saya memaksa saya untuk langsung saja tunangan dengan cowok itu hehehe...tapi kan ga bisa maksa juga, kali aja tu cowok ga suka dengan aku...", kata tia sambil tertawa.
Ketika tia sedang berbicara, seoarang cowok bule tadi berjalan ke arah tia, "apakah cowok itu yang tia maksud?", tanyaku dalam hati. Melihat hal ini, romi datang ke arahku dan berkata padaku, "ayo kita pulang, ga ada gunanya kita disini...".
Tapi tiba-tiba ketika kami akan berjalan keluar rumah itu, aku mendengar tia berkata "benerkan ga bisa maksa untuk tunangan hari ini, kali aja tu cowok ga nerima aku untuk jadi tunangan dia, buktinya dia ga datang malam ini". Aku semakin bingung mendengar kata-kata tia,,,dan aku terdiam sejenak di sana walaupun romi terus melangkah ke arah mobilnya.
Karena sudah tak tahan lagi, aku lalu memberanikan diri berteriak "memang siapa cowok itu!!!". mendengar kata-kataku para tamu yang hadir pun ikut berteriak memaksa "Ya...Siapa!!!"...
Tia lalu terdiam sejenak dan perlahan berkata "dia itu sahabatku...romi....". Mendengar perkataan tia aku langsung berlari ke arah tia berdiri dan menghampirinya, kemudian aku berkata "romi datang kok,,,dari tadi dia pengen...". Belum selesai aku bicara, tia langsung memotong kata-kataku , "mana romi?...kamu siapa?!!!...jangan bohong ah!!!", kata tia dengan wajah yang penasaran. "Kamu ga perlu tahu aku siapa, yuk ke tempat romi...".
Aku lalu menarik tangan tia ke tempat mobil romi diparkirkan, ketika aku dan tia sampai disana, kami tidak melihat romi, hanya sebuah kado yang terletak disana. Tia lalu mengambil kado itu dan membaca kata-kata yang ditulis romi,,,
Tia selamat ulang tahun ya...semoga kamu panjang umur dan selalu bahagia, o ya hari ini aku sangat senang bisa melihat kamu, walaupun aku ga bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan,,,tapi aku bahagia kok, karena kamu sudah memiliki seorang pilihan dan akan tunangan...

Membaca tulisan itu, air mata tia seakan berjatuhan tanpa henti...ia kemudian memeluk kado itu dengan segenap hatinya. Lalu ia berjalan sambil menangis ke dalam rumahnya, para tamu sangat bingung melihat tia, papa tia langsung memeluk tia yang sedang menangis itu. Terlihat suasana sangat mengarukan...
Tapi ketika kesunyian sedang menyelimuti saat itu, terdengar suara nyanyian seorang laki-laki dengan petikan gitar yang memecah kesepian. Seakan aku mengenal suara itu, semua orang disana menatap arah suara yang merdu itu, lantunan nada-nada indah terdengar ketika itu. Setelah ia selesai bernyanyi, ia berkata "lagu ini untuk orang yang sangat aku cintai...dia itu sahabatku...".
Wah ternyata itu romi, teriakku dalam hati. Tia langsung berlari ke arah romi dan langsung memeluknya. "Maafin aku romi...", kata tia kepada romi. "Kamu ga salah kok, aku aja yang ga pernah berani untuk mengakui kalau selama ini cewek yang aku cari itu adalah kamu...", jawab romi. Tia lalu tersenyum menatap wajah romi. Semua terdiam, tak ada sedikitpun suara yang terdengar...
Hingga ketika romi berkata "Aku cinta kamu tia", kata romi yang kemudian mengecup kening tia dengan indahnya. Aku pun seakan tak bisa berkata, tak ada sebuah kata yang mampu kuucapkan. "Aku juga cinta kamu romi...", jawab tia dengan perlahan yang kemudian memeluk tubuh romi.
Terdengar riuh tepuk tangan para tamu yang hadir, aku melihat ke arah papa tia, ia meneteskan air mata dari matanya yang sangat memerah.
Mungkin inilah takdir yang sudah dituliskan oleh yang maha kuasa, di mana cinta tak akan pernah hilang bila manusia tersebut benar-benar menginginkannya...

Bukan Salahmu Bila Tak Cinta

Tawa riangmu hari itu masih bisa ku ingat dengan jelas, lambaian indah tanganmu pun masih bisa aku rasa. Hari itu kau begitu bahagia, seakan semua indah hadir dalam dirimu, menutup semua duka yang pernah hinggap dalam hatimu selama ini. Jauh suaramu sudah terdengar riang memecah keheningan yang sedang menggantung dalam hatiku. Tapi ternyata itu adalah tanda akan datangnya duka yang mendalam yang tidak sanggup aku lupa sampai saat ini.
“Pagi Gilang. Tambah ganteng aja, nih! Anak siapa sih? Anak Pak Amat tentunya.” Candamu pagi itu saat memasuki ruang kelas.
“Ah, Lintang. Kamu kalau muji paling bisa. Padahal kamu tau aku enggak kayak gitu kan?”
“Eh..ini bukan pujian, tapi kenyataan lho! Sumpah deh samber gelegek.”
“Kalau benar gitu, kenapa Lintang enggak mau jadi pacar saya. Ayo jawab dengan jujur ya!”
“Bukan enggak mau, hanya kurang ‘pd’ harus jalan bareng Mas Gilang yang guan..teng. Soalnya Lintang kan enggak cantik.”
“Emang kalau orang ganteng harus jalan ama yang cantik juga?”
“Iya dong! Biar seimbang!”
“Udah,jangan diteruskan! Nanti jadi ngawur.”
“Iya deh!”
Canda ringan seperti ini selalu menemaniku sejak aku pertama kali masuk di SMA Nusa Permai ini setelah kepindahanku. Lintang adalah teman pertama yang aku punya karena kebetulan kami tinggal diperkampungan yang sama. Lintang adalah gadis simpel dan mudah bergaul dengan siapa aja. Ia cepat bisa menyesuaikan dirinya dengan siapa aja. Ya seperti ungkapan ‘the right woman on the right place’ lah. Mungkin karena ini pula banyak yang suka dengannya, terutama cowok-cowok di sekolahku. Aku juga diam-diam sudah menyukainya sejak lama. Suatu hari aku pernah meminta ia untuk menjadi pacarku.
“Lintang boleh tanyak enggak?”
“Boleh dong. Tanyak apa?”
“Kalau Gilang bilang Gilang sayang Lintang dan mau Lintang jadi pacar Gilang, Lintang mau terima enggak?”
“Akh, Gilang yang tidak-tidak aja! Masak teman mau dijadiin pacar. Enggak lucu atuh!”
“Ini serius. Mau enggak?”
“Enggak akh! Entar Lintang enggak punya teman baik yang bisa buat curhat. Enggak mau!”
“Ya,sudah kalau enggak mau.” Jawabku dengan rasa kecewa.
Selama ini aku memang telah menjadi tempat curhat Lintang yang setiap saat selalu punya waktu untuk mendengar keluh-kesah, suka-duka, bahkan sampai urusan cintanya. Diam-diam, Lintang ternyata jatuh hati pada seorang temanku, Pandu. Ia lain kelas denganku dan Lintang, dan aku juga yang telah mengenalkan Lintang ke Pandu. Tanpa aku duga,ternyata Lintang menaruh hati ke Pandu dan sering kirim salam untuknya melalui aku. Pandu yang beruntung, pikirku. Karena dari sekian banyak yang menaruh hati padanya, bahkan aku sendiri,Pandulah yang mendapat perhatian dari Lintang.
“Gilang liat Pandu enggak hari ini? Lintang ada perlu ama dia lho.”
“Enggak. Mungkin dia ada dikelasnya. Cari aja kesana.”
“Temani dong. Malu kalau kesana sendiri.”
“Males ah!”
“Pliz……”
“Iya deh! Ayo cepetan!”
Bertemu Pandu, Lintang seperti lupa akan kehadiranku. Ia terlalu asik bercerita sehingga tidak menyadari kepergianku. Kusimpan semua rasa kecewa yang mendalam ini jauh-jauh karena bagaimanapun juga Lintang adalah sahabatku. Lagipula rasa cinta yang aku punya untuknya adalah rasa cinta yang tulus, sehingga rela merasakan sakit asal Lintang dapat bahagia. Selama aku masih bisa menjadi temannya, aku akan sangat bahagia.
Pagi itu lain dari biasanya Lintang menyapaku dengan sejuta resah dan gelisah menggelantung dipelupuk matanya. Aku dapat merasakan itu melalui sikapnya Lintang pagi itu sungguh berbeda. Tiada canda riang yang selalu menemaniku seperti biasanya.
“Aduh Li, kok murung? Entar cepat tua lho.”
“Enggak ada, cuma lagi males ngomong aja.”
“Marah ya ama aku? Atau aku uda buat kamu kesal?”
“Enggak kok. Enggak ada apa-apa.”
“Ngomong dong Li. Enggak biasanya kamu seperti ini.”
“Entar deh kalau hatiku udah enakan. Maaf ya Gi! Aku belum bisa bilang sekarang.”
Lintang pun berlalu meninggalkan aku yang masih terdiam tak percaya dengan perubahan sikapnya. Itu bukan Lintang yang biasa aku kenal. Masalah besar apa yang sudah membuat ia menjadi seperti itu. Aku harus menolongnya!
“Lintang tunggu! Lintang berhenti dulu, aku mau ngomong nih!”
“Sudah lah Gi, entar aja kalau aku uda siap betul ngomong masalah ini ke kamu.”
“Tapi dengan bersikap begini, kau malah membuat aku penasaran. Apa ini ada hubungannya dengan Pandu?” Lintang terdiam tak menjawab pertanyaanku.
“Jawab Li. Semua ini karena Pandu kan? Apa yang sudah ia buat ke kamu?”
“Tidak ada. Bukan karena Pandu dan juga bukan karena kamu. Aku hanya lagi ingin sendiri. Mengertilah Gi? Sekali ini saja, izinkan aku sendiri.”
Kata terakhir Lintang menyadarkan aku bahwa ia memang sedang dalam masalah besar sampai ia menyembunyikan semuanya dariku. Aku harus menemui Pandu karena ini pasti ada hubungannya dengan Pandu. Aku harus menyelesaikan semua ini dengan segera. Aku tidak mau melihat Lintang menderita terlalu lama. Aku enggak rela, pokoknya enggak rela! Bergegas aku melangkahkan kakiku menuju kelas Pandu.
Pandu sedang duduk membaca buku didalam kelasnya saat aku memanggilnya dengan suara sedikit marah.
“Pandu! Bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu?”
“Tentu, Gi. Ada apa sih? Kelihatannya penting banget sampai harus bentak-bentak segala.”
“Semua urusan buatku akan menjadi sangat penting kalau urusan itu menyangkut sahabatku Lintang.”
“Emangnya Lintang kenapa Gi?” Pandu kelihatan khawatir, tapi dalam hatiku mengganggap itu pura-pura.
“Jangan pura-pura bodoh! Kamu apakan Lintang ah! Dia belum pernah seperti ini sebelumnya.”
“Aku? Enggak ada! Aku dengan Lintang baik-baik saja, kemarin malam aku baru dari rumahnya dan enggak ada masalah apa-apa. Sungguh Gi! Aku enggak bohong!”
“Alah, jangan pura-pura! Didepanku kau bisa ngomong gitu, tapi kenyataannya Lintang pagi ini datang dengan wajah murung, dan yang paling parah lagi, dia malah enggak mau ngomong ke aku, sahabatnya sendiri.”
“Kalau memang enggak ada apa-apa, lalu aku harus ngomong apa?”
“Jadi benar enggak ada masalah apa-apa, Pan?”
“Benar! Aku berani sumpah deh!”
“Kalau gitu ada masalah apa ya sebenarnya?”
“Biar deh aku tanya ke Lintang.”
“Jangan sekarang. Dia lagi pingin sendiri. Itu pesannya buatku.”
Aku kembali kekelas karena bel masuk sudah berbunyi. Aneh, Lintang enggak ada dikelas padahal pagi tadi dia datang. Kemana Lintang? Aku enggak konsen selama di dalam kelas. Pikiranku tertuju ke Lintang. Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia samapi enggak masuk kelas? Sekarang ia ada dimana dan lagi apa? Berjuta pertanyaan meghampiri pikiranku. Aku ingin bel istirahat segera berbunyi dan aku bisa mencari Lintang. Waktu yang hanya 2 jam setengah terasa seperti 2 abad aja. Akhirnya bel pun berbunyi! Tanpa menunggu Pak Sanusi keluar dari kelas, aku langsung beranjak pergi.
Setiap sudut sekolah rasanya sudah aku telusuri tapi aku masih belum bisa menemukan Lintang. Kecemasan semakin memuncak dikepalaku, rasa takut semakin dekat menghampiriku. Takut kalau sampai Lintang melakukan hal yang tidak-tidak. Oh Tuhan, bantu aku menemukan Lintang! Jangan sampai ia berbuat nekad. Tolanglah Tuhan! Bantu aku sekali ini! Namun, sampai jam pelajaran berakhir, aku masih belum bisa menemukan Lintang. Dengan putus asa, aku menelpon ke rumah Lintang sambil berharap ia ada dirumah. Ibu Lintang yang menjawab telponku.
“Siang Tante. Ini Gilang. Lintang ada?”
“Enggak ada. Belum pulang dari sekolah. Emangnya Gilang enggak ketemu disekolah?”
“Enggak Tante. Kebetulan hari ini Gilang enggak ke sekolah.” Aku terpaksa berbohong untuk tidak membuat Tante Irma khawatir.
“Oh. Gitu. Nanti kalau Lintang pulang, Tante kasi tau Lintang deh kalau Gilang nelpon.”
“Makasih Tante.”
Kecemasan ku semakin parah. Aku sudah tidak tau lagi harus cari kemana lagi. Semua tempat yang sering kami datangi sudah berulangkali aku periksa, tapi tetap tidak ada Lintang. Aku putus asa! Dalam hati hanya bisa berdoa tidak terjadi apa-apa dengan Lintang. Mungkin saat ini ia memang benar-benar ingin menyendiri dan tidak ingin diganggu, meskipun itu aku. Aku hanya berharap Lintang akan menelpon ku kalau ia benar-benar sudah siap, seperti janjinya padaku. Dengan pasrah aku duduk dihalte depan sekolah untuk menunggu bis yang selalu setia mengantarku pulang. Tiba-tiba…
“Gilang…..Gilang…..Gilang…..!”
Aku seperti terbangun dari mimpi saat mendengar suara Lintang memanggil namaku. Lintang sedang berdiri diseberang jalan, berteriak-teriak memanggil namaku.
“Hey, Lintang. Darimana aja? Aku uda capek nyarik kamu dari tadi!”
“Aku pergi ke mall. Jalan-jalan ilangin suntuk.” Jawab Lintang masih dari seberang jalan.
“Kemari deh, kita pulang baren.”
“Oke!”
Hatiku belum penah sebahagia ini. Lintang baik-baik saja. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku. Aku mungkin terlalu khawatir.
Hari itu jalanan terlalu ramai, Lintang pun sulit untuk menyebrang jalan karena dia kelihatan sangsi untuk melangkahkan kakinya. Dari seberang jalan, aku memperhatikan Lintang dengan sedikit cemas. Hingga akhirnya, kulihat Lintang melangkahkan kaki untuk menyebrang, namun tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil pengangkut sayuran menyambut langkah ringan Lintang, dan suara nyaring rem mobil memecah suasana keramaian hari itu.
Aku berteriak sekuat tenaga memanggil nama Lintang saat melihat kejadian tragis itu didepan mataku. Sekerumunan orang kemudian berkumpul menutupi tubuh Lintang. Aku terpaku untuk beberapa saat sebelum tersadar dan berlari keseberang jalan. Aku tarik tubuh orang-orang yang sedang berkerumun itu satu per satu sambil terus berteriak.
“Awas! Geser sedikit! Dia teman ku! Awas! Biarkan aku lewat!”
“Sabar ya dek.” Kata salah satu orang diantara mereka.
“Tapi geser dulu, dan tolong telpon ambulan sekarang juga! Tolong!!!!”
Kekuatanku seakan hilang entah kemana. Tiada tersisa daya untuk menyibak satu per satu tumpukan sayur yang menutupi wajah Lintang diantara butir-butir darah merah yang dengan santainya mengalir dari kepala Lintang. Itu bukan Lintang sahabatku! Teriak ku dalam hati! Perlahan aku kumpulkan kekuatan ku untuk menyibak tirai yang menutupi wajah manisnya. Seperti nyawa terlepas dari badanku, ku lihat wajah Lintang tertutup ‘bercak’ darah merah sehingga aku tidak bisa melihat lagi wajah manis yang selama ini selalu hadir mengisi hari-hari ceriaku. Tersadar dari mimpi, kurengkuh tubuh Lintang yang tak lagi bergerak. Kubiarkan darah merah itu menyatu dengan tubuhku seakan aku ingin membagi semua derita yang ia rasa saat ini. Tangis ku akhirnya tak tertahan lagi, mengalir diiringi teriakan tak percayaku menerima kenyataan ini.
Tubuh Lintang masih kurengkuh dengan erat tanpa mau kulepaskan. Rasa tak percaya kalau ini harus terjadi kepada Lintang masih terus menyergap tak ingin pergi. Harapan besar masih kuselipkan dihati bahwa Lintang akan baik-baik saja. Tak lama kemudian, ambulan pun datang dan membawa Lintang pergi. Aku turut ikut menemaninya dengan mulutku yang tak berhenti berdoa untuknya.
Setiba di rumah sakit, tubuh Lintang yang berlumuran darah itu dibawa masuk ke ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Aku diminta untuk menunggu diluar. Sambil menunggu, aku menelpon Tante Irma, mengabarkan berita ini. Tentu saja Tante Irma shok dan mengatakan akan langsung ke rumah sakit.
Sekitar dua jam Lintang berada didalam ruang UGD. Seorang perawat keluar dan bertanya padaku dengan suara yang sedikit tertahan, dan semakin membuatku panik
“Kamu yang bernama Gilang?”
“Iya, benar. Ada apa sus?”
“Mari ikut saya. Pasien memanggil nama kamu terus.”
“Baik sus.”
Ku ikuti langkah kaki suster menuju ruang UGD. Didalam ruangan itu, kulihat tubuh Lintang sudah dibersihkan dan lukanya juga sudah dibalut. Wajah manisnya sudah bisa kulihat lagi. Aku bersyukur dalam hati. Tapi saat melihat begitu banyak alat kedokteran yang menemani Lintang, jantungku kembali berdegup kencang. Aku bertanya kepada dokter yang menangi Lintang.
“Teman saya kenapa Dok?”
“Teman kamu mengalami pendarahan otak yang sangat parah, dan harus kami operasi sekarang juga. Sekarang ia sedang dalam keadaan krisis”
“Lalu?”
“Kemungkinannya sangat kecil. Saat sadar tadi ia mengatakan ingin bicara dengan Gilang. Itu kamu kan?”
“Iya.”
“Nah, sekarang bicaralah dengannya. Jangan lama-lama ya. Kami harus membawanya ke ruamg operasi.”
“Baik Dok!”
Kulangkahkan kaki mendekati Lintang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Setelah itu matanya kembali terpejam. Kulihat tubuh Lintang berlalu menuju ruang operasi. Doa tulusku untuk keselamatannya menyertai kepergiannya menuju ruang operasi.
Hari itu adalah hari terakhir aku melihat wajah manis Lintang. Operasi yang direncanakan belum sempat dilakukan, Lintang sudah tidak sabar untuk pergi bertemu yang Illahi. Kesedihan menyelimuti orang-orang terdekatnya, terutama aku. Hampir saja aku melupakan surat yang diberikan Lintang saat itu karena kesedihan ini. Setelah satu minggu kepergian Lintang, aku baru membaca suratnya.
Tulisan tangan Lintang kubaca perlahan. Didalamnya, ia mencurahkan segala isi hatinya yang ingin ia utarakan padaku. Kata maaf mengawali isi surat itu.
“Maaf, karena aku bukanlah sahabat yang baik buatmu. Maaf karena aku tidak cukup peka untuk mengetahui perasaan yang terpendam dalam hatimu. Maaf karena aku tidak cepat menyadari itu. Maaf karena aku tidak bisa membalas perasaan itu, karena aku baru tahu setelah Pandu menceritakan hal ini padaku. Ternyata selama ini, Gilang benar-benar sayang ke Lintang, tapi Lintang dengan begitu egoisnya malah jatuh hati dengan teman Gilang yang ternyata menyukai Lintang karena dendamnya ke Gilang. Pandu mengaku jujur bahwa perasaan sayangnya ke Lintang karena ingin membalas sakit hatinya ke Gilang karena telah merebut kekasihnya, dan karena ia tahu Gilang sayang Lintang, ia menerima Lintang untuk membuat Gilang merasakan hal yang sama. Mengapa Lintang tidak menyadari ini lebih awal, sehingga tidak menyiksa Gilang terlalu lama? Maaf kalau Lintang sudah membuat Gilang kecewa. Melalui surat ini Lintang juga mau minta maaf karena tidak bisa membalas cinta Gilang. Gilang masih maukan menjadi sahabat Lintang?
Sahabatmu
Lintang.
Hari ini, aku sedang duduk disamping batu nisanmu. Mengenang memori indah kita dulu. Aku kembali teringat bait-bait surat yang membuat ku ingin berteriak marah. Karena aku tidak pernah tersiksa dan merasa tersiksa akan cintaku yang tak berbalas atau karena Pandulah yang dipilih Lintang. Tapi semua sudah terjadi. Untukmu sahabat terbaikku, aku sudah memaafkan mu jauh sebelum kau memintanya. Itulah gunanya sahabatkan? Satu yang pasti, semua ini bukan kesalahanmu. Bukan salahmu bila kau tak cinta Lintang, dan juga bukan salahmu bila cintaku tak berbalas. Kalimat ini selalu ingin kuucapkan buatmu, bahkan setelah 3 tahun kepergiaanmu. Kuharap kau dapat mendengarnya sobat, jauh dari alammu yang bahagia disana.

Cinta Atau Persahabatan

Saat pertama kali aku melihatnya, aku sudah terpesona dengannya. Postur tubuhnya tinggi, kulitnya putih dan wajahnya yang tampan membuatku ingin kenal lebih dekat dengannya. Dia adik kelasku, namanya Bima. Saat itu aku hanya kagum tapi tidak sedikitpun aku punya perasaan apa-apa padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai adik meskipun aku tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaannya padaku. Karena dia tidak memanggilku dengan sebutan kakak melainkan langsung sebut namaku. Hal itu tidak jadi masalah buatku, mungkin dia tidak ingin usia menjadi pembatas bagi persahabatan kami.
Hari terus berjalan, semakin hari aku semakin dekat dengan dia. Kami saling menyapa bila bertemu dan bila aku ke Perpustakaan dia juga kesana. Saat aku sakit, dia terus menerus menanyakan keadaanku pada adik sepupuku, Bahri, yang kebetulan mereka saling kenal walaupun tidak satu kelas.
Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ada perasaan aneh di hatiku. Aku sering memikirkan Bima. Tiap malam aku sering mimpi dia. Hatiku bergetar saat bertemu dengannya. Hatiku damai saat melihat senyumnya. Mulai saat itu aku berpikir, apa ini yang namanya CINTA ?
***
“Ke kantin yuk” ajak Noni saat istirahat.
“Ayo, kebetulan aku lapar” aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan keluar kelas menuju kantin.
Di kantin, sambil melahap bakso Noni bertanya padaku.
“Kamu kenal Bima, anak kelas 2 IPA 1 ?” tanyanya.
“Iya, kenapa ?” aku heran kenapa tiba – tiba dia bertanya tentang Bima, dan aku mulai curiga.
“Dia temannya Bahri kan? Tolong ya tanya ke dia semuanya tentang Bima, alamat rumah, telepon rumah, no hp, dan….” Belum selesai dia melanjutkan kata - katanya, aku langsung tersedak.
“Pelan – pelan kalau makan”
Aku langsung tersenyum padanya.
“Hayo !!! Kamu suka ya sama Bima?”ledekku. Dia hanya tersenyum.
Dia memang sahabatku, tapi aku tidak pernah cerita padanya kalau aku juga suka sama Bima. Aku juga belum pernah cerita padanya kalau Bima sering smsan denganku.
Dia sangat senang sekali ketika aku berjanji untuk membantu dia supaya bisa kenal lebih dekat dengan Bima Namanya sahabat, aku ingat ketika aku susah dia selalu membantuku maka sekarang giliran aku untuk membantunya.
***
Kukenalkan Noni dengan Bima, kuberi nomor hpnya dan mereka sering smsan. Aku sangat senang sekali karena mereka sudah akrab. Mendengar dan melihat sahabatku gembira maka aku juga ikut gembira.
Selama KBM ( Kegiatan Belajar Mengajar ) berlangsung, Noni tampak murung. Terlihat dari wajahnya dia tidak konsentrasi pada pelajaran. Aku biarkan dia seperti itu sampai proses KBM selesai.
“Kamu kenapa Non ?” tanyaku dengan penasaran.
“Aku lagi marah sama kamu dan Bima”, jawab Noni dengan berjalan keluar kelas.
“Marah sama aku dan Bima ? Masalahnya apa ?”, tanyaku sambil membuntuti Noni yang melangkah ketempat duduk di depan kelas.
“Rupanya aku hanya di buat jembatan antara kamu dan Bima, pantas saja kamu dengan senang hati memperkenalkan Bima padaku” kata Noni dengan nada marah.
“Jembatan ? Jembatan apa ? Bima mengatakan apa sama kamu, aku tidak mengerti maksudmu Non”, tanyaku dengan heran.
“Sudahlah tidak usah munafik, kamu bilang hubunganmu dengan Bima hanya sebatas adik dan kakak. Tapi……” Dia tidak sanggup menyelesaikan kata – katanya. Air matanya menetes membuatku tambah bingung
“Tapi apa ?” aku tidak sabar ingin tahu permasalahannya.
Dia menyodorkan hpnya padaku.
“Bima sms aku”
Aku buka inbox di hpnya.Aku kaget saat membacanya
Aku menyukainya, aku sangat menyayanginya. Aku ingin hubunganku dengannya lebih dari sekedar kakak adik. Kamu mau kan bantu aku. Dan satu lagi, aku minta fotonya.Terima kasih ya teman.
“Kamu tega mempermainkan perasaanku, kamu tega mempermalukanku di depan Bima. Kamu bukan sahabatku lagi. Seorang sahabat tidak akan menyakiti sahabatnya sendiri”, Noni masuk kelas dengan berlari.
Aku tidak bisa berucap sepatah katapun. Aku hanya diam membisu, aku tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku tidak peduli Noni marah – marah padaku. Yang ada dipikirannku hanya Bima. Sejuta tanya di hatiku, apa dia juga merasakan apa yang aku rasakan?
“Selamat pagi teman – teman”, sapa Ana dan Wati dengan kompak.
“Kenapa Ning, Kok Noni sepertinya habis nangis. Kalian bertengkar ya? Sampai – sampai Noni meninggalkan kita begitu saja” tanya Wati padaku.
“Tidak Wat, cuma salah paham. Sudahlah ayo kita masuk bel sudah berbunyi” aku menggandeng tangan Wati dan Ana memasuki kelas.
Aku hanya diam dan melamun saja. Saat itu aku benar – benar tidak menyangka hal itu akan terjadi. Dan itu sungguh diluar dugaanku. Jadi saat itu kubiarkan kemarahan Noni tertumpah padaku dan juga tuduhan – tuduhannya itu, walaupun sebenarnya hatiku sakit.
Setelah bel berbunyi tanda istirahat tiba saat itu juga aku mencari Bima di Perpustakaan untuk mengetahui kebenaran dari semua yang telah terjadi. Dan ternyata Bima ada di Perpustakaan. Aku menghampirinya yang sedang duduk dipojok ruangan.
“Bima, kamu sms apa sama Noni ? kenapa dia sampai begitu marah padaku” tanyaku.
“Eh…. kamu Ning, duduk dulu nanti kuceritakan yang sebenarnya padamu”, jawab Bima dengan santai. “Aku hanya minta tolong padanya untuk memintakan fotomu, apa itu salah ? Dan Noni juga tanya, apa sebenarnya perasaanku padamu. Ya …. Aku jawab kalau sebenarnya aku menyukaimu tapi aku takut mengatakannya, takut kamu marah” jelas Bima panjang lebar.
Aku terkejut mendengar penjelasannya. Aku juga bingung, di satu sisi aku juga suka padanya tapi di sisi lain ada sahabatku yang juga mempunyai perasaan yang sama.
“Aduh Bima, kenapa ngomong begitu sama Noni”, tanyaku.
“Kenapa ?” Tanyanya sambil mengernyitkan keningnya.
“Tapi…, Noni menyukaimu, apa kamu nggak merasa sikapnya yang begitu perhatian sama kamu” ucapku.
Bima mendekatkan kursinya padaku, Ningsih. Dia raih tanganku yang tergeletak di atas meja. Dia tatap mataku.
“Aku menganggap Noni hanya temen biasa, kalaupun dia memberi perhatian lebih sama aku karena dia menyukaiku, itu hak dia. Aku tidak bisa merubah perasaanku padanya” Matanya masih tetap memandangku membuatku semakin salah tingkah.
“Bim, tapi aku ini kakakmu dan kita cuma teman”, kataku pada Bima sambil sesekali menatap matanya yang tajam.
“Kenapa ? kamu tidak suka sama aku. Apa ada perbedaan usia dalam cinta ?”
Tangannya menggenggam tanganku semakin erat dan tatapannya semakin tajam membuat hatiku berdebar. Aku bingung harus mengatakan apa padanya. Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulutku.
“Kalau kamu anggap aku salah dan kurang sopan telah mencintai kakak kelas. Aku tidak memaksamu untuk menyukaiku dan membalas cintaku, tapi aku mohon jangan kamu paksa aku untuk menyukai sahabatmu. Karena aku tidak mengobral cinta. Jangan sok jadi Pahlawan kalau hatimu sengsara. Aku tunggu jawabanmu segera”, Bima pergi meninggalkan aku yang terdiam membisu.
***
Tidak terasa hari beranjak siang, bel berbunyi pertanda jam sekolah sudah usai. Ketika aku berjalan sampai di depan gerbang sekolah aku melihat Bima, dia tersenyum padaku. Akupun membalas senyumannya. Dalam perjalanan pulang aku tidak henti – hentinya memikirkan apa yang dikatakan Bima. Nampak ada suatu kemarahan yang tersirat dalam perkataanya terbukti ia mengatakan bahwa dia tidak megobral cinta.
Sesampainya di rumah aku masih memikirkan bagaimana caranya untuk menyatukan Noni dengan Bima. Sedangkan belum kukatakan maksudku dia sudah mengunciku dengan kata – kata jangan jadi Pahlawan dan dia tidak mengobral cinta. Aku sangat bingung, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin mengorbankan persabatanku dengan Noni hanya karena Bima. Jika aku menerima Bima jadi kekasihku, aku pasti akan kehilangan sahabatku. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Bima.
“Hallo.. Bimanya ada ?” tanyaku.
“Ada apa Ning, apa kamu sudah siap menjawabnya sekarang?” Ternyata dia sudah hafal dengan suaraku
“Bim,kamu jangan terburu - buru mengambil keputusan untuk menjalin hubungan denganku. Bukankah Noni juga sangat baik dan sangat perhatian padamu”, aku berharap Bima tidak marah dengan ucapanku.
“Sudahlah Ning, aku sudah tahu dan sangat mengerti maksudmu. Tidak usah basa - basi. Katakan saja kamu menolakku karena kamu anggap aku tidak pantas denganmu, aku masih kecil. Tidak usah mencari alasan dengan menjodohkan aku dengan sahabatmu”
Lalu tidak terdengar lagi suara Bima, dia sudah menutup telponnya. Baru kali ini dia marah padaku. Hatiku sakit. Aku sayang padanya, aku tidak ingin kehilangan dia tapi aku juga tidak ingin kehilangan sahabatku.
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, kubiarkan air mataku terus menetes dan dengan perlahan kucoba pejamkan mata.
***
Pagipun kembali datang. Matahari mulai menampakkan wajah terangnya di bumi. Kembali aku seperti biasanya. Pergi ke Sekolah, dengan membawa kebimbangan hati. Dari jauh kulihat Noni, setelah aku hampir mendekatinya dia pindah tempat. Aku tahu dia memang sengaja menghindariku. Mungkin dia masih marah padaku. Sampai di depan pintu kelas, Wati dan Ana menghadangku.
“Ningsih, sebentar aku mau bicara”, kata Wati seraya menarik tanganku agar duduk disebelahnya.
“Ada apa, serius amat kalian ini” tanyaku, aku berusaha bersikap tenang pada mereka.
“Sebentar Wat, kita ucapkan selamat dulu pada teman kita ini”, kata Ana dengan senyum – senyum.
“Selamat ? Untuk apa ?”, tanyaku sedikit heran.
“Oh..iya, Selamat ya. Kamu sudah jadian sama anak kelas satu yang cakep itu. Tapi kamu jahat, kamu nggak pernah cerita sama kita, takut cowoknya diambil sama kita?”, ledek Wati.
“Jadian sama Bima ?” aku semakin tidak mengerti maksud mereka.
“Kata Noni kamu sudah jadian sama Bima dan kemarin kita juga lihat kamu keluar dari Perpustakaan dan sebelumnya juga Bima keluar dari sana.”, Ana bertanya dengan semangat.
“An, itu tidak benar. Aku bertemu dengan Bima di Perpustakaan kemarin untuk menjernihkan masalah.”, jawabku.
“Sudahlah Ning, kami sudah tahu semua masalahmu dengan Noni. Kalau kamu menyukai Bima terima saja dia.” saran Ana.
“Apa kalian akan mengorbankan kebahagiaan Noni? Apa aku bisa bahagia di atas kesedihan orang lain?” ucapku dengan menahan emosi.
“Sudahlah ayo masuk dulu, kalian tidak dengar bel sudah berbunyi”, Wati menarik tanganku.
Didalam kelas Noni tidak menoleh sedikitpun padaku. Keadaan kelas nampak sepi. Mereka nampak serius mendengarkan Guru Matematika yang sedang membahas soal yang begitu sulit. Cuma pikiranku saja yang tidak menyatu dengan mereka.
Akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku, Wati, dan Ana pergi kekantin sementara Noni memang sengaja tidak ikut.
“Ning, lihat itu Bima, kelihatannya dia juga mau kekantin. Wah… An, nampaknya mereka sudah sehati. Ningsih ke Perpustakaan Bima juga kesana. Sekarang Ningsih ke kantin, Bima juga ke kantin. Jangan-jangan kalian janjian. Kita jadi mengganggu An”, kata Wati dengan senyum-senyum meledekku.
“Janjian ? Aku nggak janjian sama Bima”, jawabku.
“Oh…jadi ceritanya cuma kebetulan saja !”, kata Wati dan Ana dengan kompak
Sesampainya di kantin, Bima juga sampai di sana. Tapi anehnya dia tidak menoleh sedikitpun padaku. Dia sengaja berpura – pura tidak melihatku. Ana dan Wati sama- sama memandangku dengan rasa heran melihat sikap Bima yang seolah – olah dia tidak mengenalku.
Setelah makan bakso selesai Ana dan Wati mengajakku duduk di dekat kantin yang kebetulan di sana ada bangku kosong dan juga sepi. Mereka kembali mengintrogasiku.
“Ning, kenapa Bima cuek sama kamu. Apa kamu sudah menyakitinya”, tanya Ana dengan penasaran.
“Mungkin juga An. Aku menyuruhnya untuk menyukai Noni dan jangan menyukaiku”, jawabku.
“Hah… kamu gila, kamu menolak cinta Bima. Padahal banyak yang antri untuk merebut hatinya. Aku saja tidak akan menolak jika dia menyatakan cinta padaku. Sayang sekali kalau cowok cakep seperti dia dibiarkan lewat begitu saja”, kata wati sambil tertawa.
“Huh… dasar, memang kamu saja Wat yang nggak bisa lihat cowok cakep. Lalu Ning, cuma itu alasanmu menolak cinta Bima ?”, tanya Ana.
“Ya… cuma itu, aku bingung. Lagian hubunganku selama ini cuma sebatas kakak dan adik”, kataku.
“Ning, sebuah hubungan bisa berubah kapan saja asalkan didasari oleh perasaan saling menyayangi dan mencintai. Musuh saja bisa menjadi sepasang kekasih bila diantara mereka ada perasaaan mencintai. Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah kamu sayang sama Bima ? Apa kamu bisa merelakan Bima jalan sama Noni sementara hatinya tersiksa gara-gara dia tidak mencintai Noni ? Apa kamu memang sengaja menyakiti hati Bima ?”, kata Noni dengan pandangannya yang mendalam padaku.
“Tentunya tidak, aku tidak ingin menyakiti Bima. Aku juga tidak ingin dia bersikap seperti itu padaku.”, kataku dengan menunduk, aku tidak berani menatap wajah Ana.
“Nah…,berarti kamu mencintai Bima. Tapi kamu tidak membiarkan cintamu itu tumbuh. Sekarang coba kamu pikir, menurutmu apakah kamu sudah berjasa telah menyatukan Noni dengan Bima. Bagaimana jika nanti mereka jadian, tidak lama kemudian Bima memutuskan Noni. Apakah Noni tidak sedih. Lebih baik kita bunuh cinta Noni sekarang daripada nanti dia lebih dalam luka dihatinya. Noni harus terima kenyataan kalau cintanya tidak bersambut. Sudahlah Ning, terima saja cinta Bima. Nanti biar aku dan Wati yang akan menyadarkan Noni. Ini demi kebaikan kalian berdua”
Perkataan Ana membuat hatiku sedikit lega. Tapi aku masih tidak yakin. Aku tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Aku takut Noni tidak mau memaafkan aku dan aku juga takut Bima menjauhiku. Aku sangat sayang keduanya.
***
Seminggu sudah berlalu dari hari dimana aku diberi ceramah sama Ana dan Wati. Dalam waktu seminggu itu aku tidak berbuat apa- apa.
Hari itu sekolah mengadakan rapat untuk membahas pelaksanaan UAN ( Ujian Akhir Nasional ) bagi anak kelas tiga. Jadi hari itu tidak ada pelajaran tapi siswa tidak boleh pulang. Seperti biasa aku pergi ke Perpustakaan dan berharap ada Bima disana. Aku sangat rindu padanya. Berhari – hari dia mengabaikan aku.
Sesampainya disana aku tidak menemui Bima. Tapi aku tetap masuk saja untuk sekedar membaca buku. Tidak lama aku duduk, ada suara langkah kaki mendekatiku. Dan dia memengang pundakku kemudian duduk di sebelahku.
“Hai…Ning, maaf aku mengganggu”. Aku menoleh kearahnya.
“Hai …Non, kamu tidak menggangguku justru aku sangat bahagia kamu mau bicara lagi padaku”.
“Ning, aku kesini mau minta maaf sama kamu. Selama ini aku yang egois. Aku bertinggkah seperti anak kecil dan aku tidak pantas disebut sebagai sahabat. Karena aku sudah menyakitimu dengan menghalangi cintamu pada Bima. Untung Ana dan Wati segera menyadarkan aku.” Ucap Noni dengan penuh penyesalan.
“Sudahlah Non, aku sudah memaafkanmu dan aku tidak marah padamu”, kataku sambil memeluk Noni.
“Eh… aku punya kejutan, tapi kamu harus tutup mata dulu. Ok!!!”, kata Noni sambil melepaskan pelukanku.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Sudahlah kamu tunggu sebentar ya !”, kata Noni seraya meninggalkan aku.
Tidak lama kemudian ada seseorang memegang mataku dari belakang. Ternyata setelah kubuka tangannya , orang itu adalah Bima. Aku sangat terkejut hingga aku diam bagaikan patung. Dan Noni meraih tanganku kemudian menyatukannya dengan tangan Bima. Aku sangat bahagia. Aku peluk Noni dan tidak terasa air mataku menetes dipundak Noni begitu juga dengannya. Terdengar bisikan Noni yang mengatakan
“Aku adalah sahabatmu selamanya

Cinta Dari Allisa

Aditya dan Ardian… dua nama itulah yang selama 3 bulan terakhir mengisi hari-hariku.

Ardian…
Dia datang pada saat dimana aku sedang merasa sangat kehilangan, hari-hariku sedang membosankan dan menyedihkan. Aku baru saja putus cinta. Awal aku mengenalnya karena tidak sengaja mengirim sms. Setelah itu kami sering bertukar cerita, bertelpon ria.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu hadir dalam hatiku dan aku juga tak mengerti mengapa cinta itu datang begitu cepat. Dan yang lebih aku tak mengerti mengapa aku harus mencintainya, padahal kita tak pernah bertemu.

Aneh bukan? Tapi itulah cinta, bila cinta tidak gila itu tidak dikatakan cinta…
Cinta itu harus gila.

Entahlah, apakah dia merasa hal yang sama dengan apa yang kurasa? Aku tak tahu. Hubunganku dengan ardian tak pasti, bertemankah atau berpacarankah…
Berteman…mungkin dia akan jadi seorang teman yang baik, yang selalu mau mendengar keluh kesahku setiap hari
Berpacaran…mungkin dia akan jadi seorang pacar yang setia,
Berteman atau berpacaran aku tak peduli. Aku merasa nyaman… mendengar suaranya dan mendengar tawanya, dia selalu menjalani kehidupannya dengan santai, seolah dia tidak pernah merencanakan hidupnya esok akan bagaimana, dia biarkan hidupnya mengalir. Tapi itulah yang ku suka, tapi hal itu pula yang pada akhirnya membuat aku benci.

Ardian datang lebih awal daripada adit, mungkin jika adit datang lebih awal, aku akan jatuh cinta padanya.

Aditya…
Aku mengenalnya karena perjodohan orang tua. Saat itu aku sedang menikmati kedekatanku dengan ardian.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu datang di hati adit, aku tak mengerti mengapa adit sangat ingin menikah denganku, padahal perkenalan ini amat singkat. Entahlah, apakah aku merasa hal yang sama dengan adit? Aku tak tahu. Tapi yang pasti aku kagum akan kegigihan dan perhatian dia.

Hubunganku dengan adit juga tak pasti, yang pasti aku pernah menyakitinya karena aku menolaknya

Tapi hingga saat ini seolah dia tak menyerah untuk mengejarku..
Atau mungkin karena target hidup dia yang sudah tersusun rapi dari tahun ketahun. Dia manargetkan menikah pada tahun ini, pada usia dia yang ke 27. itulah adit, dia selalu menyusun rencana hidupnya jauh kedepan. Bahkan 10 tahun, 20 tahun kedepan sudah disusunnya secara terperinci. Tapi itulah yang membuat aku menolaknya, aku belum lama mengenalnya, aku pernah bertanya padanya, apakah saat dia menulis target hidupnya untuk menikah tahun ini, dia membayangkan wanita yang akan di nikahi itu siapa? Aku yakin, wanita yang dia bayangkan bukan aku, tapi orang lain, entah aku tak pernah mau tahu siapa wanita itu. Aku tak pernah ada dalam rencana hidup dia, karena perkenalan kita masih sangat singkat, tapi mengapa harus aku yang harus terjebak dalam target hidupnya?

Sungguh adit dan ardian adalah dua pribadi yang bertolak belakang, walaupun inisial nama mereka sama

Aku adalah seorang wanita, yang selama 3 bulan ini dilema dengan perasaanku sendiri. Secara jelas aku menjelaskan perasaanku terhadap 2 laki-laki itu pada perkenalan mereka. Aku seorang yang sangat simple dalam hal mencintai seseorang, aku selalu jatuh cinta karena hal-hal yang sederhana, tapi seringkali jatuh cinta tanpa sebuah alasan. Kadang perasaan itu datang tanpa aku tahu dan mengapa harus pada orang tersebut.

Aku sudah bosan menjalani kegagalan perjalanan cintaku, beberapa bulan sebelum aku mengenal ardian dan adit, aku memutuskan untuk menyerahkan kepada orangtuaku utuk memilih seseorang untukku, oleh karena itu mereka mengenalkanku pada adit, anak seorang teman bapak. Karena sudah terlanjur berjanji akan mencoba untuk menerima siapapun yang mereka pilih aku menyetujui untuk bertemu dan mencoba untuk mengenalnya.

Selama beberapa bulan aku mengenal mereka, aku semakin yakin akan perasaanku. Tapi saat aku menolak lamaran adit, keadaan sudah terbalik, ardian tidak lagi menginginkan aku menjadi bagian hidupnya. Aku tak tahu apakah alasan yang dia berikan adalah benar atau tidak, aku tak tahu. Saat aku menolak adit, banyak yang terluka, mama, bapak, adit, mbak tanti bahkan mungkin yang paling terluka adalah aku. Aku hanya memikirkan dan mengikuti perasaanku tanpa mau peduli perasaan orang lain, tapi apa yang aku dapat??? sekuat apapun aku meyakini perasaanku terhadapnya, toh sekarang dia mengabaikannya. Mungkin ini karma untukku…

Aku ingin sekali melupakan 2 nama itu dalam hidupku. Karena mereka membuat aku pusing. Aku merasakan apa yang adit rasa, aku merasakan bagaimana rasanya diabaikan, mengharapkan sesuatu yang tak pasti, tapi aku juga tak ingin mengabaikan perasaanku, karena hubunganku dengan ardian tak seperti yang aku harapkan. Dengan jelas dia mengatakan tidak mencintaiku, dia mungkin hanya mengganggap aku sekedar teman, seorang teman yang kesepian. Kisah ini bagaikan kisah cinta segitiga yang tak berujung. Jika aku tetap mementingkan perasaanku, ada seseorang yang terluka. Dan jika aku menerima cinta adit, aku sendiri yang akan terluka. Sampai akhirnya aku harus memutus untuk melupakan keduanya, agar tak ada yang merasa menang, agar semua merasakan perih yang sama. Tapi mungkin perih itu hanya untukku dan adit, karena kami sama-sama melibatkan perasaan yang dalam…

Entah apa yang aku harus ku ucapkan dipenghujung kisah ini, maaf atau terimakasih, yang pasti aku mendapatkan satu pelajaran yang sangat berharga dari kisah ini, aku akan mengucapakan 2 kata itu sebagai kata terakhirku. Maaf untuk semua yang secara sengaja atau tidak sengaja terluka karena masalah ini, untuk mama n bapak, maaf jika masalah ini membuat suasana kita sedikit berkurang keharmonisannya, maaf untuk adit yang sangat jelas terluka, maaf untuk ardian karena aku memaksakan sesuatu yang sudah pasti ku tahu itu tak mungkin.

Terimakasih untuk semua yang telah ikut mengukir sebuah kisah ini untukku.

Saat ini aku sedang mencoba untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku, aku harus berusaha agar aku tak berkubang lagi pada kisah yang sama dan orang yang sama… walau sulit, aku harus bisa merelakan dan melupakan semua…

Cinta Sejati Seorang Ibu

Wanita itu sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita yang masih muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong dan bualan orang disekitarnya. Maklumlah, ia memang seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair. Al-Khansa bin Amru, demikianlah nama wanita itu. Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Dia pernah bersyair mengenang kematian saudaranya yang bernama Sakhr :
“Setiap mega terbit, dia mengingatkan aku pada Sakhr, malang. Aku pula masih teringatkan dia setiap mega hilang dii ufuk barat Kalaulah tidak kerana terlalu ramai orang menangis di sampingku ke atas mayat-mayat mereka, nescaya aku bunuh diriku.”
Setelah Khansa memeluk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakan untuk menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya diajar ilmu bersyair dna dididik berjuang dengan berani. Kemudian puteranya itu telah diserahkan untuk berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam. Khansa telah mengajar anaknya sejak kecil lagi agar jangan takut menghadapi peperangan dan cabaran.
Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang Farsi. Semua Islam dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka terkumpullah seramai 41,000 orang tentera. Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu. Khansa sendiri juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas merawat dan menaikkan semangat pejuan tentera Islam.
Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan ke medan perang, “Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan sukarela pula. Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudara-maramu, aku tidak pernah merendahkan keturuna kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu. Kamu telah tahu pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu. Ketahuilah bahwasaya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa.”
Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imran yang bermaksud, “Wahai orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, moga-moga menjadi orang yang beruntung.” Putera-putera Khansa tertunduk khusyuk mendengar nasihat bonda yang disayanginya.
Seterusnya Khansa berkata, “Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk berperang dengan musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan yang sedang bergejolak, masuklah akmu ke dalamnya. Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal.”
Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah iaitu solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia sebaik saja semboyan perang berbunyi. Perang satu lawan satu pun bermula dua hari. Pada hari ketiga bermulalah pertempuran besar-besaran. 41,000 orang tentera Islam melawan tentera Farsi yang berjumlah 200,000 orang. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah .
Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bondanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari mereka bersyair,
“Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah. Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi.”
Kemudian ia maju menetak setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair,
“Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur mush-musuh bersama-sama Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah.”
Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair,
“Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cekap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang mengambil berat terhadap anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi.”
Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair,
“Bukanlah aku putera Khansa’, bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana ‘Amru yang pujiannya sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentera asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke jurang bahay, dan musnah mangsa oleh senjataku.”
Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat bondanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya kebingungan dan kacau kerana pada mulanya tentera Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan hadapan, sementara tentera berjalan kaki berlindung di belakang binatang tahan lasak itu. Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak tentera Farsi yang lannya. Kesempatan ini digunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka. Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya mereka lari lintang-pukang menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah teruk, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri.
Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan daripada 7,000 orang syuhada itu terbujur empat orang adik-beradik Khansa. Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahwa keempat-empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan,
“Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan darii Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!”
Al-Khansa kembali semula ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan mayat-mayat puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperanan itu pula wanita penyair ini mendapat gelaran kehormatan ‘Ummu syuhada yang ertinya ibu kepada orang-orang yang mati syahid.”

Persahabatan

Seorang yang bernama reza merasa hidupnya sudah merasa lengkap, reza berkata aku punya ayah yang baik padaku dan ibu selalu sayang padaku,bahkan aku berasal dari keluarga yang kaya dan akupun pandai dalam pelajaran apapun ,ia pun merasa puas dan bahagia , reza mpuyai sahabat sejati yang brnama aris.

Pada hari minggu aris mengajak ku untuk pergi bermain pada suatu taman rekreasi ,kami bersenang-senang disana ,secara tidak sengaja aku melihat ad sepasang kekasih yang bersama-sama sedang menghabiskan waktu berdua tanpa sadar aku memandang sepasang kekasih itu dengan dengan pandangan cemburu ,kini aku baru sadar bahwa hidupku belum lengkapkarna aku belum mempuyai seorang kekasih sambil melamun dengan memegang ice cream di tangan ku secara tidak sengaja aku menabarak seseorang yang sedang memegang anjing di tangannyan secara tidak langsung aku lari karna aku takut dengan anjing ,anjing itupun ikut mengejar aku lari sekuat tenaga ,untungnya ada aris yang membantuku untukku apa jadinya bila aris tak ada bisa-bisa aku jadi makan siangnya .Tak terasa matahari sudah tak terlihat sinarnya lagi ,aku dan aris pulang kerumah kami masing-masing.

Sesampainya dirumah kini aku masih membayangkan sepasang kekasih yang berada ditaman rekreasi tadi yang begitu mersa , waktu terus bertambah takterasa sudah lewat tengah tenah malam akupun ingin mempuyai keinginan untuk mempuyai seorang kekasih .ku bertekat walau ku harus berkorban untuk mendapatkannya ,apapun hambatannya kan kucari walau kepelosok untuk mendapatkannya malam kian larut akupun tertidur pulas dengan berharap ada seorang perempuan mau untuk menjadi kekasihku.

Malam senin berganti dengan senin pagi jampun membangunkan ku itu saatnya ku mandi dan berganti pakaian sekolah .aku peri kesekolah bersama aris .sesampainyan kami disekolah bel sekolah telah berbunyi itu waktunya untuk upacara hari senin pada saat aku ikut melaksanakan upacara hari senin ,hingga hamper telah selesai ,ada seorang perempuan baris didekatku ,berparas cantik menawan,berambut panjang ,berkulit halus , tetapi ada yang aneh dengannya mukanya pucat ,mataya sayu ,seperti orang yang tidak ber tenaga .tak lama kemudian perempuan itu pingsan dan tidak sengaja aku menangkap tubuhnya yang akan jatuh ,dan saat ku menagkap tubuhnya sesuatu yang aneh terjadi kepadaku jantungku berdetak dengan keras ,drahku seperti mengalir dengan deras hingga kekepalaku hingga mukaku merah .aku berkata dalam hati “ perasaan apa ini mengapa ku jadi aneh kayak gini ,apa yang terjadi dengan ku ,apakah ini rasanya jatuh cinya takmungkinaku jatuh cinta padanyan “ tapi tak dapat ku pungkiri aku memang jatuh cinta padanya.


Walau hanya satu menit ku pegang tubuh nya seakan ia telah menjadi milikku perempuan itupun di bawa ke ruang uks dengan segera. Setelah beberapa lama perempuan itu tersadar dari pingsannya dan saat istirahat sekolah ,perempuan itu menghampiri ku dengan rasa malu-malu sambil mengucapkan terima kasih tadi sudah menahan kujatuh aku berkata sama-sama perempuan itu mengulurkan tangannya untuk ber kenalan denganku dia berkata tasya sambil menjabat tangan ku ,aku reza.

Sebagai tanda terima kasih telah menolongku ,aku ingin jalan-jalan dan kamu harus ikut kanra kamu sudah menolong ku tadi bagaimana reza apa kau mau ikut ,ya ya ya okelah nanti pulang sekolah aku tunggu kamu didepan gerbang sekolah ,oke tasya , sampaiketemu lagi reza.

Aku kembali kekelas dengan bahagia ,aku duduk dengan sahabat ku aris sambil membayangkan wajah tasya yang cantik . tanpa sadar aris memandang wajahku lalu berkata ada apa dengan sahabatku ,mukamu seperti orag yang mendapatkan undian yang sangat banyak .tidak aku hanya sedang senang saja hari ini dengan wajah yang gembira ,aris berkata kepadaku aku senang bila sahabat ku pun senang
Jarum jam pun berputar dengan sangat cepat bel pulang pun ber bunyi ,akupun menunggu didepan gerbang sekolah aku melihat tasya dengan rambut tergerai ,wah benar-benar cantik dilihat dari mana pun tetap saja cantik.


Tasya kita mau kemana aku tasya berkata aku mau kamu yang menentukannya boleh kan yasudah aku mau mengajak mu ketempat yang meyenangkan ,tapi sebelum kita pergi ketempat itu aku mau ngajak kamu makan biar kamu nanti tidak pingsan oke hehehehe kamu mau makan apa tasya tasya menjawab aku lagi mau makan baso nih ,yasudah aku tau tempat warung baso di dekat sini

Sesampainya kami di Depan warung baso kami masuk dan duduk ,pelayan pun menhampiri kami dan menawarkan mau makan apa? Aku bertanya tas kamu mau makan apa , eee aku mau makan baso telor ja ,minumnya ,es the manis ja za ,reza berkata kpada pelayan mas baso telor dua es teh manisnya dua.

Selagi kami menunggu pesanan kami ,aku mengobrol-obrol dengan tasya .tidak lama kemudian pelayan dating dengan membawakan pesanan kami ,setelah memakan semangkuk baso dan segelas the manis perut kamipun telah terisi ,kami pun melanjutkan perjalanan pergi ke sebuah taman rekreasi disana kami naik permainan yang sangat mengasikan aku melihat wajah tasya yang begitu cantik saat ia sedang tertawa sambil menatap wajahnya.

Kamis, 09 Desember 2010

Setetes Embun

Hari ini hari minggu di penghujung bulan Februari. Hari ini mentari bersinar sangat cerah. Ironis, sangat bertentangan dengan ucap batinku saat ini.Saat aku sedang melamun di bawah rindangnya pohon mangga di rumahku..."Non Embunnnn....." suara Bi Sumarni menyapa lembut gendang telingaku."Iya Bi..." aku menjawab sekenanya. Sambil menyangga tubuhku pada pohon mangga, aku berdiri, lalu menopang tubuhku dengan tongkat penuntun. Aku melangkah masuk ke dalam rumah."Non, baru saya mau ke tempat Non, eh Non sudah di sini." kata Bi Sum, begitu biasanya aku memanggil Bi Sumarni."Ga apa-apa Bi, aku bisa sendiri kok. Oya Bi, ada apa ya?" tanyaku, heran pagi-pagi begini sudah dipanggil dengan hebohnya sama Bi Sum."Gini Non, tadi mama Non titip pesan sama saya buat nemenin Non ke rumah sakit. Nah, sekarang Non ganti baju dulu yu." kata Bi Sum sambil nuntun aku ke kamarku yang berada di belakang rumah.Setelah berganti pakaian, ditemani Bi Sum, aku pergi ke rumah sakit untuk menjalani terapi. Kami pergi ke rumah sakit naik mobil keluargaku. Pak Man yang mengantarkan kami ke sana. Ya, semenjak aku berumur 5 tahun, aku sudah terkena penyakit leukemia, penyakit yang sangat menakutkan bagiku. Terapi ini tidak membantu banyak bagi penyembuhan penyakitku. Kata dokter, umurku tidak lama lagi. Tapi aku harus menjalani terapi ini untuk bertahan hidup. Aku tidak ingin meninggalkan hidup yang telah Tuhan karuniakan kepadaku dengan sia-sia, aku harus bertahan hidup untuk memperjuangkan cintaku kepada Steve, pria yang sangat kucintai."Non Embun", suara Bi Sum membangunkanku dari lamunanku. Ternyata, kami sudah sampai di rumah sakit. Segitu lamanya ya aku ngelamun sampai aku tidak sadar kami sudah sampai di rumah sakit."Ayo turun Non, nanti keburu siang", suara Bi Sum meneruskan ucapannya tadi."Iya Bi, kita turun sekarang ya." ujarku muram.Kami turun dari mobil, lalu memasuki pintu otomatis rumah sakit. Kami naik ke lantai tiga rumah sakit, tempat aku akan menjalani terapi dengan menggunakan lift. Lift terasa bergoyang, menandakan dia sedang mengantarkan kami ke lantai tiga. Lift ini menjadi saksi bisu pengobatan penyakitku. Setiap seminggu sekali, aku menjalani terapi di rumah sakit ini. Sudah sepuluh tahun ku jalani terapi ini semenjak aku divonis tarkena penyakit leukemia.Pintu lift terbuka, dan aku beserta Bi Sum keluar dari lift. Kami berjalan ke arah ruang terapi. Baru saja kami sampai di depan pintu, aku dikagetkan oleh sosok Steve yang sedang meneteskan air matanya."Hei Steve, ada keperluan apa kamu di sini?" kataku sambil mencoba untuk tersenyum."Hai Embun. Oh, ga apa-apa ko, aku cuma mau ketemu sama dokter Reno aja ko" kata Steve sambil menyeka tetesan air mata dari mukanya, lalu tersenyum."Kamu kok nangis? Ada apa?" Kataku khawatir melihat raut wajah Steve yang sedih."Nangis? Engga kok, mataku cuma kemasukan debu. Hehe" kata Steve seraya tersenyum lagi kepadaku dan Bi Sum.Walaupun wajah Steve terlihat jujur, matanya tidak dapat membohongiku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres."Ya sudah Embun, Bi, aku pamit dulu ya. Embun, have fun with your therapy ya" kata Steve kepadaku dan Bi Sum."Ok, dah Steve" kataku sambil mengayunkan tanganku ke kiri dan ke kanan.Tiga jam kemudian, terapi sudah ku jalani, aku menghampiri Bi Sum yang sudah menungguku dengan sabar. Lalu kami berjalan menuju ke parkiran, menghampiri mobilku dan masuk ke dalamnya."Pak Man, langsung pulang saja ya" kataku kepada Pak Man.Setengah jam kemudian kami sudah sampai ke rumah. Waktu sudah menunjukan pukul dua siang.Aku meneruskan aktivitasku dengan makan siang, mandi sore, dan menonton TV, lalu aku tutup hari itu dengan tidur.Selama tiga minggu, aku menghabiskan aktivitasku dengan berjalan-jalan ke taman bersama Steve, membantu mama memasak menu masakan baru, bercerita dan ber-chatting ria kepada Lolita dan Mila yang keduanya merupakan sahabatku, dan menjalani terapi rutinku, yang sekarang ditingkatkan menjadi dua kali seminggu. Aku tidak tahu mengapa jadwal terapiku kini menjadi lebih padat. Tetapi tiga minggu ini aku merasa hidupku lebih berharga, karena Steve, Lolita, Mama, Papa, dan Bi Sum beserta Pak Man sangat menyayangiku. Karena itu, aku memutuskan untuk menulis surat untuk satu-satu dari mereka, lalu kusimpan dalam laci lemari kamarku yang menyatakan betapa aku sayang kepada mereka.Hari Senin sore di pertengahan bulan Maret, aku diajak Steve beserta Lolita dan Mila untuk berjalan-jalan ke taman. Sebenarnya, hari itu aku merasa kurang sehat, namun aku tidak ingin mengecewakan hati para sahabatku, terutama Steve, yang sekarang sudah resmi menjadi kekasihku.Setelah aku berpamitan kepada Mama, Papa, dan Bi Sum serta Pak Man, aku pergi bersama mereka ke taman dekat rumah kami. Oya, rumahku dan ketiga teman-temanku ini berdekatan, satu kompleks. Jadi, kami sering menghabiskan waktu bersama-sama.Saat sedang membicarakan kegiatan para pemuda di kompleks kami, aku merasa dadaku sesak, kepalaku pusing sekali, dan setelah itu semuanya gelap.Saat tersadar kembali, aku telah berada di sebuah ruang yang sangat ku kenal. Ruang kamar rumah sakit. Di sekelilingku, orang-orang yang ku sayangi telah berkumpul sambil menangis. Namun, setelah melihat aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam, mereka tersenyum dan memanggil dokter dengan histeris.Satu minggu aku menginap di rumah sakit. Namun, suatu pagi, aku merasa tubuhku sangat lemas. Siang itu, ketika sedang bercanda dengan mama, aku mendadak tak sadarkan diri.*****Kami semua menangis membaca tulisan di kertas merah jambu itu yang ditujukan kepada kami. Surat itu dari Embun Pratiwi, gadis ceria yang telah meninggalkan kami semua selamanya. Kami berpegangan tangan sambil menangis bersama, dan menaburkan bunga segar ke gundukan tanah di atas pusara Embun. Selamat jalan Embun, engkau telah meneteskan setetes embun di hati kami masing-masing. Setetes embun itu akan selalu kami jaga dalam hati kami, tidak akan kami hapus, selamanya. Terima kasih karena kamu sudah mebuat hidup kami menjadi lebih berwarna.

cinta si anak manja

Kini Wulan merasa telah tahu duduk persoalannya, kenapa Tania begitu ngotot memaksanya datang. Sebenarnya Wulan ingin tertawa geli, tapi ia tak tega. Betapapun Tania memang nampaknya amat berantakan. Air matanya tak juga kunjung berhenti menetes. Namanya juga anak manja!Persoalan sebenarnya sederhana saja, dan seperti yang sudah- sudah, Tania selalu menunggu jalan penyelesaian atau pemecahannya dari mulut Wulan. Menghadapi situasi seperti ini, Wulan sering kali menyesal walau tak punya pilihan lain. Tania, sepupunya ini, memang anak tunggal. Dan untuk urusan-urusan tertentu, nampaknya ia tak cukup punya keberanian untuk mengungkapkannya di depan ortu sendiri. Termasuk urusan yang satu ini.“Masak, sih, kamu nggak kenal Yusdi?”Wulan menggeleng.“Sama sekali?” Mata yang masih basah itu melotot. “Bullshit! Kalian satu sekolah, masak nggak kenal?”“Kenal sih kenal, tapi ya gitu-gitu aja. Nia… sekolahku penghuninya hampir empat ratus manusia. Masak, harus kenal satu per satu? Lagian kelas Yusdi emang jauh banget sama kelasku. Paham?”Kini Tania yang menggeleng.Wulan melengos untuk menahan kata yang nyaris meluncur dari bibirnya yang senantiasa basah. Sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa Yusdi sama sekali bukan cowok populer di sekolah. Ia bahkan tak pernah masuk hitungan dalam kancah pergosipan di sekolah. Yang ia tahu, Yusdi justru tergolong cowok nyentrik. Pendiam, penyendiri. Jelas sekali, ia seperti sering sengaja menarik diri dari persahabatan yang intens dengan orang lain, terlebih dengan lawan jenis. Dua bulan yang lalu, Wulan cukup kaget mendengar penuturan Tania bahwa ia mulai dekat dengan Yusdi, meski sebelum itu Wulan sudah tahu bahwa kebetulan mereka berdua mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga yang sama. Mereka pacaran. Tapi waktu itu Tania tak pernah meminta Wulan untuk memata-matai Yusdi. Jadi, salah siapa kalau sekarang Yusdi tetap asing di mata Wulan?“Kamu keterlaluan! Seharusnya kamu lebih mengenal Yusdi. Doi itu cowokku!”Wulan memilih diam. Salah-salah ucapannya bisa membuat Tania semakin emosional.“Okelah, sekarang tolong kamu nyari tahu tentang Mirna,” Tania mengiba.“Anak kelas dua, ya?”“Iya!”“Aku juga nggak kenal sama dia. Cuman setahuku doi aktif di OSIS.”“Makanya!” Suara Tania kembali meninggi. “Kamu selidiki cewek gatel bernama Mirna itu!”“Gatel? Panuan kali, ya?”“Wulan! Aku serius! Apa sebutan yang tepat untuk cewek yang merebut pacar orang?”“Apa persoalannya emang cuman begitu?”“Sudah! Kamu banyak ngocolnya aja!”Lagi-lagi Wulan harus mengalah. Jika anak manja ini sudah bersikap seperti itu, alamat harus dituruti kemauannya. Jika tidak, buntutnya bisa lebih runyam. Berkepanjangan dan bisa tidak bermutu sama sekali.“Jadi, sekarang tugasku cuma nyari tahu tentang Mirna?”“Menyelidikinya! Juga Yusdi, Wul…”“Gimana, sih? Tugas kok rangkap-rangkap gitu?”“Kamu mata-matai mereka berdua. Apa bener mereka kayak gosip yang kudengar?”“Kalau bener?”Pandangan Tania menerawang.“Apa perlu bikin laporan di atas kertas ukuran folio dan bermeterai…”“Wulan! Aku serius!” Ternyata gampang-gampang saja menemukan Yusdi tengah sendirian. Tak perlu menunggu waktu berhari-hari untuk mencari kesempatan. Yusdi tengah sendirian di meja pojok kantin sekolah. Untuk sesaat Wulan sengaja memandanginya dari kejauhan. Menyaksikan betapa cueknya cowok itu dengan gado-gadonya. Gaya makannya, plus sebelah kakinya yang nangkring di atas bangku, terkesan seenaknya. Tapi anehnya Wulan jadi kepengen berlama-lama menatap yang seperti itu. Sayangnya detik demi detik terus bertambah, dan Wulan tak ingin kehabisan jam istirahat ini.“Yusdi?”Yusdi menghentikan gerakan sendoknya sebentar, menengok sebentar lalu meneruskan makannya.“Saya, Wulan…”“Oh ya!” Akhirnya Yusdi membagi perhatiannya juga. “Saya ngerti siapa kamu. Kemarin di Lomba Vokal itu kalah, kan? Cuma juara harapan kedua, ya?”Wulan seperti tertohok. Ini namanya penghinaan! “Tapi cukup bisa bikin saya rada beken, kan? Nyatanya kamu ngerti saya,” ucap Wulan sebal.“Lebih dari itu,” Yusdi menyeka mulutnya yang belepotan dengan tisu. “Saya juga ngerti bahwa kamu sepupu Tania, dan kamu datang menemui saya atas suruhan Tania.”Dan sebelum Wulan sempat berkomentar, Yusdi sudah meneruskan ucapannya, “Kamu jadi pesuruhnya, kan?”“Apa kamu nggak punya kosakata yang lebih indah?Yusdi menyeringai. “Jangan tersinggung, Wulan…”“Kamu ngerti nama saya?”“Kenapa? Merasa makin beken, ya? Barusan kamu udah nyebutin sendiri nama kamu. Jangan geer!” Sekali lagi Wulan terpana. Baru sekian menit berhadapan dengan cowok ini, ia serasa menemukan banyak sekali kejutan. Semua sungguh di luar dugaannya. Kini Wulan merasa bertemu dengan makhluk yang makin asing baginya.“Tania emang minta tolong saya buat memata-matai kamu. Tapi kayaknya kok aneh. Saya ogah jadi detektif, kok. Makanya saya mutusin buat ketemu langsung sama kamu…”“Dan…?”Wulan mendadak bingung. Kini disadarinya lagi, apa yang hendak ia urus?“Kok kamu mau-maunya ngurusin urusan pribadi sepupu kamu? Jangan -jangan urusan kamu sendiri jadi terlantar!”Wulan terpaku.“Bengong?”“Kamu ini…?”“Udah deh, mendingan kamu biarkan saya sendirian aja. Dan kamu bisa menemui saya lagi, kalo kamu udah makin siap.”“Saya hanya kasihan sama Tania…” Wulan merasa dirinya jadi manusia terbodoh di dunia. Sudah banyak ia bergaul dengan cowok, bahkan sering kali menjadi leader, tapi kali ini ia merasa mati kutu.“Saya juga kasihan sama kamu. Kamu berniat menolong, sementara kamu sendiri nggak ngerti harus berbuat apa. Lucu, kan?”Oh, sombongnya!Yusdi mengangkat gelas teh esnya, isyarat menawari minum, tapi Wulan membalasnya dengan gelengan.“Saya senang, ternyata kamu nggak marah, meski saya udah bersikap kurang baik sama kamu,” Yusdi tertawa lepas. “Itu ngebuktiin bahwa kamu bukan cewek manja kayak sepupu kamu, Tania.”“Cewek manja?”“Bukankah begitu? Tania manjanya kelewatan, emosional lagi! Kamu pasti nggak pernah ngerti betapa capeknya kami berantem.
Betapa repotnya saya berusaha mengimbangi kemauannya. Ini baru dua bulan pacaran. Bayangin, apa yang terjadi besok dan besoknya lagi. Makin capek!”“Lalu kamu berpaling pada Mirna?”“Ah, kamu pendengar yang baik, tapi hanya bisa membaca permukaan.”“Ada yang salah?”“Tentang Mirna?” kata Yusdi dengan mata tak berkedip. “Kami mulai deket, tapi bukan berarti udah pacaran. Setidaknya Mirna nggak semanja Tania. Lebih gampang mengatasi anak itu.”“Mengatasi? Emangnya cewek itu cuma masalah buat kamu?”“Maunya sih enggak.” Yusdi bicara dengan tangkasnya. “Tapi ternyata sering jadi masalah. Kamu mau, pacaran dan menerima masalah terus-terusan?”Tak sadar Wulan menggeleng.“Makanya! Saya udah bilang sama Tania, ngapain diterusin kalo nyatanya berantem melulu.”“Karena Tania? Dia yang selalu jadi penyebabnya?”“Kamu lebih ngerti seperti apa sepupumu itu. Dan… kamu belum tahu tentang saya. Jadi, mikir sendiri!“Jawabanmu kelewat diplomatis!”“Terserah.”“Tapi Mirna?”“Apakah Tania belum bilang bahwa saya mulai ngedeketin Mirna setelah kami putus?”“Kalian udah putus?” Wulan tersekat.“Iya, dong. Saya udah bilang langsung sama Tania bahwa kami nggak mungkin nerusin hubungan yang nggak pernah baik itu.”Wulan terpekur sesaat. Inilah kuncinya. Tapi kenapa Tania tidak mengatakannya?“Sekarang katakan aja, salah saya di mana?”“Tania nggak bilang bahwa kalian udah putus,” kata Wulan lesu. “Tania cuma bilang, kamu nggak setia lagi. Kamu punya selingkuhan, Mirna itu…”“Keblinger! Lagian kata siapa saya dan Mirna udah pacaran?”
“Ah?”“Kaget, kan?”“Kamu jujur?”“Kamu nggak kenal saya, sih.”“Ya. Sampai detik ini pun terus terang saya masih bingung…”“Padahal saya enggak bingung lagi tentang kamu.”Wulan menatap lurus ke mata Yusdi.“Saya ngerti, kamu bukan cewek yang manja. Bukan cewek yang gampang patah arang. Seandainya seperti Tania, pasti kamu udah pergi sejak tadi.”“Saya emang bukan Tania.”“Ya, saya yakin itu…”“Ya udah…”“Apanya yang udah?” Yusdi seolah menahan tawa.“Terus terang, saya nggak ngerti musti bicara apa lagi.”“Grogi, ya?”“Hhh! Ngg… nggak gitu. Tapi… mungkin lebih baik jika saya mendesak Tania buat ngejelasin semuanya.”“Apa perlu? Menurutku, urusan saya sama Tania udah rampung.”“Tapi saya kasihan melihat dia kayak sekarang.”“Nanti dia juga akan baikan lagi. Biasa… jatuh cinta, putus, jatuh cinta lagi, putus lagi...”“Kok…?”“Habis, musti gimana? Apa perlu saya harus menangisi perpisahan kami? Tania, sepupumu itu yang kelewatan. Manjanya overdosis. Masalah sederhana kayak ini kenapa musti ngelibatin kamu? Kamu sendiri juga aneh. Ngapain mau melibatkan diri dalam urusan yang nggak bermutu seperti ini?”Suara bel masuk memutuskan percakapan mereka.“Mungkin lain kali kita sambung lagi, setelah saya ngedapetin penjelasan dari Tania.” Wulan lebih dahulu berdiri.Tapi… tapi?!Wulan tersekat. Lengannya terpegang erat oleh Yusdi.“Ya, kita harus ketemu lagi, Wulan…”Hati Wulan berdebar keras.“Kamu ngerti, nggak? Saya mendadak menyesal, kenapa tidak sejak dulu saya mengenalmu. Kenapa nggak sejak dulu kita saling mengenal…” kata Yusdi lirih.Wulan tertegun.“Andai saya mengenalmu dulu-dulu, mungkin kamu udah jadi pacarku!”Wulan menarik tangannya dari cekalan Yusdi dan secepatnya berlari meninggalkan Yusdi. Wulan tak ingin Yusdi tahu betapa merahnya mukanya saat itu. Wulan tak ingin Yusdi mendengar debar jantungnya.Nggak kuaaat...!