Kamis, 09 Desember 2010

Setetes Embun

Hari ini hari minggu di penghujung bulan Februari. Hari ini mentari bersinar sangat cerah. Ironis, sangat bertentangan dengan ucap batinku saat ini.Saat aku sedang melamun di bawah rindangnya pohon mangga di rumahku..."Non Embunnnn....." suara Bi Sumarni menyapa lembut gendang telingaku."Iya Bi..." aku menjawab sekenanya. Sambil menyangga tubuhku pada pohon mangga, aku berdiri, lalu menopang tubuhku dengan tongkat penuntun. Aku melangkah masuk ke dalam rumah."Non, baru saya mau ke tempat Non, eh Non sudah di sini." kata Bi Sum, begitu biasanya aku memanggil Bi Sumarni."Ga apa-apa Bi, aku bisa sendiri kok. Oya Bi, ada apa ya?" tanyaku, heran pagi-pagi begini sudah dipanggil dengan hebohnya sama Bi Sum."Gini Non, tadi mama Non titip pesan sama saya buat nemenin Non ke rumah sakit. Nah, sekarang Non ganti baju dulu yu." kata Bi Sum sambil nuntun aku ke kamarku yang berada di belakang rumah.Setelah berganti pakaian, ditemani Bi Sum, aku pergi ke rumah sakit untuk menjalani terapi. Kami pergi ke rumah sakit naik mobil keluargaku. Pak Man yang mengantarkan kami ke sana. Ya, semenjak aku berumur 5 tahun, aku sudah terkena penyakit leukemia, penyakit yang sangat menakutkan bagiku. Terapi ini tidak membantu banyak bagi penyembuhan penyakitku. Kata dokter, umurku tidak lama lagi. Tapi aku harus menjalani terapi ini untuk bertahan hidup. Aku tidak ingin meninggalkan hidup yang telah Tuhan karuniakan kepadaku dengan sia-sia, aku harus bertahan hidup untuk memperjuangkan cintaku kepada Steve, pria yang sangat kucintai."Non Embun", suara Bi Sum membangunkanku dari lamunanku. Ternyata, kami sudah sampai di rumah sakit. Segitu lamanya ya aku ngelamun sampai aku tidak sadar kami sudah sampai di rumah sakit."Ayo turun Non, nanti keburu siang", suara Bi Sum meneruskan ucapannya tadi."Iya Bi, kita turun sekarang ya." ujarku muram.Kami turun dari mobil, lalu memasuki pintu otomatis rumah sakit. Kami naik ke lantai tiga rumah sakit, tempat aku akan menjalani terapi dengan menggunakan lift. Lift terasa bergoyang, menandakan dia sedang mengantarkan kami ke lantai tiga. Lift ini menjadi saksi bisu pengobatan penyakitku. Setiap seminggu sekali, aku menjalani terapi di rumah sakit ini. Sudah sepuluh tahun ku jalani terapi ini semenjak aku divonis tarkena penyakit leukemia.Pintu lift terbuka, dan aku beserta Bi Sum keluar dari lift. Kami berjalan ke arah ruang terapi. Baru saja kami sampai di depan pintu, aku dikagetkan oleh sosok Steve yang sedang meneteskan air matanya."Hei Steve, ada keperluan apa kamu di sini?" kataku sambil mencoba untuk tersenyum."Hai Embun. Oh, ga apa-apa ko, aku cuma mau ketemu sama dokter Reno aja ko" kata Steve sambil menyeka tetesan air mata dari mukanya, lalu tersenyum."Kamu kok nangis? Ada apa?" Kataku khawatir melihat raut wajah Steve yang sedih."Nangis? Engga kok, mataku cuma kemasukan debu. Hehe" kata Steve seraya tersenyum lagi kepadaku dan Bi Sum.Walaupun wajah Steve terlihat jujur, matanya tidak dapat membohongiku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres."Ya sudah Embun, Bi, aku pamit dulu ya. Embun, have fun with your therapy ya" kata Steve kepadaku dan Bi Sum."Ok, dah Steve" kataku sambil mengayunkan tanganku ke kiri dan ke kanan.Tiga jam kemudian, terapi sudah ku jalani, aku menghampiri Bi Sum yang sudah menungguku dengan sabar. Lalu kami berjalan menuju ke parkiran, menghampiri mobilku dan masuk ke dalamnya."Pak Man, langsung pulang saja ya" kataku kepada Pak Man.Setengah jam kemudian kami sudah sampai ke rumah. Waktu sudah menunjukan pukul dua siang.Aku meneruskan aktivitasku dengan makan siang, mandi sore, dan menonton TV, lalu aku tutup hari itu dengan tidur.Selama tiga minggu, aku menghabiskan aktivitasku dengan berjalan-jalan ke taman bersama Steve, membantu mama memasak menu masakan baru, bercerita dan ber-chatting ria kepada Lolita dan Mila yang keduanya merupakan sahabatku, dan menjalani terapi rutinku, yang sekarang ditingkatkan menjadi dua kali seminggu. Aku tidak tahu mengapa jadwal terapiku kini menjadi lebih padat. Tetapi tiga minggu ini aku merasa hidupku lebih berharga, karena Steve, Lolita, Mama, Papa, dan Bi Sum beserta Pak Man sangat menyayangiku. Karena itu, aku memutuskan untuk menulis surat untuk satu-satu dari mereka, lalu kusimpan dalam laci lemari kamarku yang menyatakan betapa aku sayang kepada mereka.Hari Senin sore di pertengahan bulan Maret, aku diajak Steve beserta Lolita dan Mila untuk berjalan-jalan ke taman. Sebenarnya, hari itu aku merasa kurang sehat, namun aku tidak ingin mengecewakan hati para sahabatku, terutama Steve, yang sekarang sudah resmi menjadi kekasihku.Setelah aku berpamitan kepada Mama, Papa, dan Bi Sum serta Pak Man, aku pergi bersama mereka ke taman dekat rumah kami. Oya, rumahku dan ketiga teman-temanku ini berdekatan, satu kompleks. Jadi, kami sering menghabiskan waktu bersama-sama.Saat sedang membicarakan kegiatan para pemuda di kompleks kami, aku merasa dadaku sesak, kepalaku pusing sekali, dan setelah itu semuanya gelap.Saat tersadar kembali, aku telah berada di sebuah ruang yang sangat ku kenal. Ruang kamar rumah sakit. Di sekelilingku, orang-orang yang ku sayangi telah berkumpul sambil menangis. Namun, setelah melihat aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam, mereka tersenyum dan memanggil dokter dengan histeris.Satu minggu aku menginap di rumah sakit. Namun, suatu pagi, aku merasa tubuhku sangat lemas. Siang itu, ketika sedang bercanda dengan mama, aku mendadak tak sadarkan diri.*****Kami semua menangis membaca tulisan di kertas merah jambu itu yang ditujukan kepada kami. Surat itu dari Embun Pratiwi, gadis ceria yang telah meninggalkan kami semua selamanya. Kami berpegangan tangan sambil menangis bersama, dan menaburkan bunga segar ke gundukan tanah di atas pusara Embun. Selamat jalan Embun, engkau telah meneteskan setetes embun di hati kami masing-masing. Setetes embun itu akan selalu kami jaga dalam hati kami, tidak akan kami hapus, selamanya. Terima kasih karena kamu sudah mebuat hidup kami menjadi lebih berwarna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar