Entah mengapa pada gerimis pilihan Cinta tertambat. Kedua pilihan menyerta kegelisahan hidup. Gelisah mumpuni. Menelesup relung jiwa. Tak bisa dipungkiri bahwa Sang Maha Pemberi Rasa Kasih Sayang memberikan sebuah kemustahilan. Mustahil untuk mendapatkan Rama sebagai seorang suami. Rama, sosok itu. Lelaki yang telah menitipkan kata ‘menunggu’ untuk sekian lama. Bukan satu atau dua hari. Apalagi satu atau dua tahun. Melainkan sewindu. Waktu yang tak sedikit untuk sebuah penantian. Kala itu umur Cinta baru tujuh belas tahun saat Rama memutuskan pilihan untuk kuliah di Al-Azhar University. Rama sendiri genap berusia delapan belas tahun. Rasa itu seolah tak bisa dilepas. Dua anak manusia yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan berdekatan. Mereka bertetangga, meski terhalang tiga rumah. Rupanya rasa itu tak mampu dihalangi oleh tiga rumah tersebut. Entah mengapa, rasa itu terus berkecamuk. Mesti tak pernah terkatakan oleh lisan. Tapi bahasa qalbu mampu terterjemahkan oleh segalanya. Pandangan mata dan gerak tubuh. Dalam sepotong diam, mereka sama-sama menyimpan rasa itu.Cinta pun takluk pada rasa itu. Dengan rasa itu pula, Cinta terus menanti kehadiran Rama. Meski jejarak tak dapat dipangkas. Antara Kairo dan Indonesia. Bila saja tak ada kepercayaan akan ucapan Rama, maka tak akan mungkin Cinta menepati janjinya untuk menjadi seseorang yang melebur pada kata setia. Kesetiaan dan kepercayaan itu mampu mengurai jejaring kerinduan dalam ketenangan. Tak pernah sepucuk surat singgah di genggaman Cinta. Pun suara Rama yang terdengar di telepon. Hanya saja setiap dua tahun sekali, Rama selalu datang ke Indonesia. Itupun terkadang bisa lebih satu atau dua bulan. Tentu saja, Cinta dapat menghapus dahaga kehampaan. Meski berbilang waktu.
Kau tahu kalau kurma ini belum masak?” tanya Rama suatu hari di dua tahun pertama keberangkatannya saat ia pulang ke tanah air. Cinta hanya berdiri di depan pintu sambil menggelengkan kepala. Rama menyerahkan kurma itu seraya tersenyum. Tangannya memegang kepala yang terkena guyuran hujan dan sesekali menyibak rambutnya yang terbasahi air langit itu.“Sengaja aku bawakan kurma untuk keluarga kita. Biar tahu rasanya kurma yang setengah matang. Kalau di Mesir makan kurma paling enak saat udara panas. Tapi di sini tak ada salahnya kau cicip di musim hujan.”“Keluarga kita? Semoga saja memang aku mendapatkanmu sebagai pasangan hidup.” batin Cinta berkata-kata. “Aku akan ke rumahmu Februari dua tahun lagi,” Rama meminta Cinta untuk tetap menunggu hingga Februari dua tahun lagi.
Dua tahun selanjutnya Rama kembali. Kali ini sebulan lebih cepat. Cinta tampak kegirangan. Maklum saat itu Cinta tengah disibukkan oleh kegiatan perkuliahan cukup padat. Menurutnya kehadiran Rama dapat mendongkrak semangatnya yang hampir padam untuk menjalani kuliah. Tak ada yang teristimewa dari kepulangannya. Hanya sebuah cerita yang dialami Rama saat menerima sebuah bingkisan dari seorang kakek yang berpakaian lusuh. Awalnya Rama meremehkan kehadiran kakek tua itu sebagai pengemis. Pandangan semacam itu memang dipicu oleh penampilan sang kakek. Tak disangka, sang kakek memberinya sebuah bingkisan yang berisikan lembaran-lembaran uang. Selepas kakek itu pergi dari apartemennya, Rama menyadari bahwa keadaannya saat itu sangatlah menderita. Paceklik. Tak ada pemasukan sama sekali. Uang hasil menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Inggris mengalami keterlambatan. Uang itulah sebagai pengganti sementara untuk memenuhi kebutuhannya selama beberapa waktu.Cinta hanya mendengarkan rangkaian cerita itu di balik gerimis yang menjarum di halaman rumahnya. Di akhir perbincangan itu Cinta memuji Rama. Ada raut kebahagiaan melingkupi wajah Rama. “Mas orang baik. Tentu saja banyak yang menolong. Mas memang beruntung.”Entah sebagai balasan atas pujian atau memang sebagai permintaan kembali untuk menanti kehadirannya, Rama menjanjikan akan ke Indonesia bulan Juni dua tahun lagi. Lagi-lagi untuk kali kesekian Cinta diuji kesetiaannya.
Seharusnya tak ada gerimis bulan Juni sebab sekian waktu tak ada hujan membasahi Bumi Pertiwi. Bulan yang telah dijanjikan Rama untuk menemui Cinta di Indonesia. Rama menunaikan janjinya tepat waktu. Bulan Juni. Hanya saja, ada yang tak tepat dari kehadirannya. Sama sekali Rama tak menunjukkan batang hidungnya. Meski, Cinta tahu obrolan-obrolan tetangga sebelah memuat kabar kedatangan Rama. Cinta hanya diam. Tak mungkin baginya untuk menyambangi rumah Rama. Sekadar untuk memastikan bahwa Rama tengah sowan ke Indonesia. Gerimis tak berhenti. Memagut cerahnya hari. Persis seperti apa yang dialami Cinta. Gerimis itu serupa tanya yang enggan hilang dari benaknya. Hingga mengubah perwajahan Cinta yang cerah menjadi sendu.Beberapa hari Cinta tak mendapati sosok yang begitu dekat di hatinya. Tapi, begitu semu. Tak nampak batang hidungnya. Hanya berkeliaran di rimba ingatan. Gerimis kian menjadi-jadi. Hingga muncul hujan. Merinai. Titik-titik air singgah di jendela. Berkali-kali Cinta memainkan titik air dengan ujung jarinya. Hawa begitu dingin menyelubungi alam mayapada. Sedingin jiwanya yang kini koyak oleh kerinduan yang berlarat-larat.Satu minggu telah terlewati tanpa satupun tanda-tanda yang bisa menenangkan jiwa renta Cinta. Pertemuan alangkah sejenis benda langka yang mesti digantungkan ke langit tinggi. Sebuah kemewahan rasa mumpuni, namun tak mampu terbeli. Bahkan kini rindu hanya terserak di gudang hati.Di hari ketujuh yang berarti hari terakhir Rama di Indonesia, Rama menitipkan bingkisan berupa dua lembar kertas. Satu kertas jumbo berisi 30 juz Al-Quran dengan huruf yang sangat kecil. Tentu saja, membacanya harus dengan menggunakan suryakanta atau kaca pembesar. Lainnya berupa lembaran kertas papirus yang terlapisi kertas dan memuat kaligrafi surat Al-Falaq yang didominasi warna merah, biru, serta putih. Di balik kaligrafi itu bermukim secarik kertas memuat sebait puisi yang ditulis tangan.Telah purna dhoifnya diri. Ditikam gerimis bertubi-tubi. Hendak merengkuh cinta hakiki. Tak jua terpatri di sanubari Cinta terpasung dalam geming dan makna puisi. Cinta bukanlah pujangga atau sastrawati yang mampu menterjemahkan maknanya. Hanya ada barisan rasa sepi yang bersebatin dengan dirinya kini. “Mbak, Mas Rama minta maaf nggak bisa ketemu. Sibuk ngurus visa. Apalagi ya…,” Asti -adik perempuan Mas Rama- mencoba mengingat-ingat pesan kakak kesayangannya itu. “Nggak apa-apa, kok,” jawab Cinta singkat. Cinta memperhatikan Asti yang tengah kepayahan mengingat pesan yang lupa itu. Beberapa waktu kemudian Asti tersenyum simpul. “Oh iya, Mas Rama baru bisa pulang dua tahun lagi. Sekarang Mas Rama kerja jadi marketing di perusahaan jus buat balita.” Gerimis masih terus berlanjut, meski Asti sudah meninggalkan jejaknya di ruang tamu rumah Cinta. Ada yang mengusik jiwa Cinta. Lagi-lagi hal itu membuat Cinta terseret pada pusaran kegelisahan. “Dua tahun? Aku sudah biasa menunggu selama itu. Tapi bulan apa? Kenapa tak kutanyakan?” Ada penyesalan tak berujung dirasakan oleh Cinta. Setidaknya angka dua adalah bagian yang tak bisa dihindari. Dua tahun untuk setia.
Tak pernah terpikir bahwa kehidupan tak selamanya menyimpan hal yang sama. Dua tahun tak selamanya akan berwujud dua tahun. Kiranya inilah kejadian yang sama sekali tak terduga oleh Cinta. Sebelas bulan dari Juni setahun sebelumnya. Seusai bingkisan itu tergenggam oleh Cinta, ada peristiwa sangat mengejutkan menghampiri Cinta. “Cinta, lusa Rama mau telepon kamu. Jam 8 malaman. Ibu sudah bilang supaya Rama menghubungi rumah kamu. Tapi, katanya ada berita penting untuk keluarga ini. Kamu diminta mendengarkannya. Kamu nggak keberatan kan?” “Tidak, tante,” perasaan Cinta mendadak tak menentu. Selain karena langkanya atau bahkan tak pernah Mas Rama menghubungi Cinta lewat telepon. Aneh! “Mengapa aku harus dilibatkan?” Cinta tak tahu misteri apa yang tengah ditimpakan Allah kepadanya.Tepat pukul delapan dua hari berikutnya, Cinta berbicara dua arah dengan Rama. Mendadak angin begitu kencang berhembus. Tentu saja mempengaruhi penerimaan suara dengan terputus-putus.“Cinta, bisa lebih keras ngomongnya? Aku nggak dengar. Di sana lagi gerimis atau udah hujan?” Hati Cinta jengkel mendengar pertanyaan dari Rama. Sudah dicoba berkali-kali mengeraskan suaranya. Tetap saja suara Cinta tak bisa didengar jelas oleh Rama. Belum lagi pertanyaan soal gerimis atau hujan. Cinta menganggap bukan saatnya menanyakan hal seperti itu. Apalagi sambungan internasional sangat menyedot pulsa.“Cinta, kalo Mas Rama kenalin Cinta sama seseorang mau nggak?”“Seseorang? Untuk apa Mas?”“Untuk hidup dan kemaslahatan.”“Memang siapa Mas? Kemaslahatan?”“Untuk Mas Rama dan kamu.”“Tunggu tanggal mainnya. Setahun lagi, ya.”Kalau setahun lagi mau berkenalan dengan seseorang, kenapa repot-repot menghubungiku, pikir Cinta.Setahun kemudian, sejarah kelam terpahat di kehidupan Cinta. Rama tiba di Indonesia dengan penampilan baru. Membiarkan jenggot dan cambang tumbuh. Tampak begitu gagah. Cinta tak bisa langsung mengenali sosok Rama. Hanya suara bariton Rama memberi sebuah tanda, kalau itu benar-benar suara Rama. Buncahan rindu yang bergejolak di hati Cinta sirna seketika. Sosok di hadapannya memberikan kebahagian tersendiri. Cinta yang kini tengah merintis karir di dunia periklanan seakan digodam kesadarannya akan pemenuhan setengah agamanya yang mesti diwujudkan.“Kamu masih ingat obrolan di telepon setahun lalu?”Obrolan di telepon itu masih terngiang di telinga Cinta. “Masih ingat, Mas. Mana orangnya yang mau dikenalkan sama Cinta?” Cinta celingukan mencari sosok manusia yang akan dikenalkan Rama. “Pasti ganteng,” baru kali ini Cinta bercanda dengan Rama.“Cantik. Nih fotonya. Rencananya besok lusa aku melamar dia.”Mendadak kepala Cinta terasa berat. Tak hanya gerimis yang menyerta kepedihan Cinta. Hujan dan angin beriringan membentangkan luka di dada Cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar